Oleh: Usep Setiawan
Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden, lulusan Antropologi Universitas Padjadjaran, dan Sosiologi Pedesaan IPB
DALAM pidato di hadapan Sidang Tahunan MPR tanggal 14 Agustus 2020, Presiden Joko Widodo menyerukan agar jangan menyia-nyiakan pelajaran yang diberikan oleh krisis. Jangan biarkan krisis membuahkan kemunduran. Justru momentum krisis ini harus kita bajak untuk melakukan lompatan kemajuan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “bajak” di antaranya bermakna “tidak menurut aturan yang biasa”. Dipilihnya kata “bajak” dalam pidato kenegaraan tentu bukan tanpa makna. Sebelumnya, beberapa kali Presiden meminta para menteri dan jajaran pemerintahan untuk melakukan langkah extraordinary dalam menghadapi krisis. Sesuatu yang di luar kebiasaan didorong Presiden.
Sementara itu, pengertian krisis menurut Powell (2005), adalah kejadian yang tidak diharapkan, berdampak dramatis, kadang belum pernah terjadi sebelumnya yang mendorong organisasi kepada suatu kekacauan (chaos) dan dapat menghancurkan organisasi tersebut tanpa ada tindakan nyata.
Hemat penulis, krisis sosial, budaya, ekonomi, politik, pertahanan, keamanan, kesehatan, pendidikan, dan seterusnya sebagai dampak pandemi Covid-19, semestinya menjadi alamat dari produksi hukum. Jika ini diabaikan, hukum bukan hanya tak menjawab krisis, melainkan berpotensi memperparah krisis menjadi bencana kemanusiaan. Paling tidak, memicu kerancuan dalam ketatanegaraan.
Transformasi Hukum
Ditegaskan Presiden, krisis telah memaksa kita menggeser channel cara kerja. Dari cara-cara normal menjadi ekstranormal. Dari cara-cara biasa menjadi luar biasa. Dari prosedur panjang dan berbelit menjadi smart shortcut. Dari orientasi prosedur menjadi orientasi hasil.
Karenanya, lanjut Presiden, pola pikir dan etos kerja kita harus berubah. Fleksibilitas, kecepatan, dan ketepatan sangat dibutuhkan. Efisiensi, kolaborasi, dan penggunaan teknologi harus diprioritaskan. Kedisiplinan nasional dan produktivitas nasional harus ditingkatkan. Begitu kata Presiden.
Presiden juga menyatakan ekosistem nasional yang kondusif bagi perluasan kesempatan kerja yang berkualitas harus kita bangun. Penataan regulasi harus kita lakukan. Regulasi yang tumpang tindih, yang merumitkan, yang menjebak semua pihak dalam risiko harus kita sudahi.
Semua ini kita dedikasikan untuk perekonomian nasional yang adil, untuk kepentingan yang sudah bekerja, untuk kepentingan yang sedang mencari kerja, untuk mengentaskan kemiskinan, dengan menyediakan kesempatan kerja yang berkualitas seluas-luasnya. Presiden menyimpulkan, kita ingin semua harus bekerja. Kita ingin semua sejahtera, kata Presiden.
Bagi penulis, keguncangan asas legalitas hukum formal menjadi konsekuensi logis yang perlu dipertimbangkan. Ajakan untuk membajak krisis sebagai peluang bisa bermakna “tidak menurut aturan yang biasa” menjadi keharusan. Asumsinya, banyak aturan lama dibuat untuk mengatur sesuatu dalam keadaan normal. Berbagai prosedur dan mekanisme yang diatur tidak dimaksudkan untuk keadaan tidak normal. Banyak hal yang tak bisa lagi diurus secara business as usual.
Menghadapi krisis di era new normal perlu “pembiasaan baru” agar jadi kebiasaan, termasuk dalam pembentukan kebijakan dalam suasana krisis. Hukum sebagai konsensus politik yang diproduksi untuk menjawab krisis. Elemen-elemen krisis jadi faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam perumusan substansi hukum. Hukum adalah juga produk kebudayaan.
Karena hukum tak berdiri sendiri dan proses produksi hukum, bisa menjadi arena tarik-menarik kepentingan dari para penyusun atau yang direpresentasikan produk hukum tersebut. Mutlak perlu kearifan dan kebijaksanaan dalam menyusun produk hukum atau peraturan perundang-undangan.
Di sinilah tantangan bagi para ahli hukum. Bagaimana transformasi produk-produk hukum yang dibuat saat tak ada krisis, menjadi kondusif bagi penanggulangan krisis. Berbagai peraturan perundang-undangan yang telanjur ada dan menjadi norma hingga aturan main dalam berbagai bidang, perlu ditinjau ulang. Ini diperlukan agar krisis tidak dibiarkan berbuah kemunduran, seperti diungkap Presiden. Kalau ahli hukum gagal, sinyalemen bernada joke seorang guru bisa jadi benar: jangan mengajak ahli hukum untuk sebuah perubahan mendasar (revolusi).
Semangat Kebangsaan
Presiden Jokowi sudah memberi aba-aba dengan nada keras kepada para menteri untuk sigap menghadapi krisis. Jangan biasa-biasa saja. Semua menteri harus mengambil langkah cepat. Misalnya, untuk mempercepat serapan anggaran di kementerian dan lembaga guna memutar lebih kencang putaran roda ekonomi. Peran masyarakat juga tak bisa dikecilkan. Masyarakat penting berperan aktif dalam menangani dampak krisis.
Karenanya, penting bagi kita untuk menyegarkan komitmen bersama dalam menghadapi krisis. Semuanya penting ambil bagian agar menjadi bagian dari solusi atas krisis yang melanda. Sekecil apapun peran kita. Pemerintah tak bisa bekerja sendiri. Masyarakat pun demikian.
Akar kebangsaan yang ditekankan Presiden Jokowi penting sebagai landasan. Ideologi dan nilai-nilai luhur bangsa tidak boleh dipertukarkan dengan kemajuan ekonomi. Bahkan, kemajuan ekonomi jelas membutuhkan semangat kebangsaan yang kuat. Kita harus bangga terhadap produk Indonesia. Kita harus membeli produk dalam negeri. Kemajuan Indonesia harus berakar kuat pada ideologi Pancasila dan budaya bangsa, demikian kata Presiden. Mencintai produk lokal adalah perwujudan semangat kebangsaan itu.
Ibarat darah segar, semangat kebangsaan mengaliri sekujur tubuh bangsa Indonesia. Jangan biarkan roh kebangsaan kita melemah. Dengan demikian, membajak krisis akibat pandemi dan aneka dampaknya bisa menjadi peluang untuk meraih kemajuan bersama.(*)
(https://www.beritasatu.com/aditya-l-djono/opini/7313/membajak-krisis-jadi-peluang)