Oleh: Salamuddin Daeng
Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
JANUARI 2015, Sri Mulyani menulis artikel berjudul Dirty Money and Development, sebuah artikel yang mengupas tentang triliunan dolar uang kotor yang tersimpan di berbagai tempat di seluruh dunia.
Uang kotor tersebut bersumber dari keuntungan perusahaan multinasional yang tidak diumumkan, hasil korupsi, dan pendapatan dari penyelundup obat-obatan, senjata, dan orang-orang yang semuanya disimpan dalam rekening bank, perusahaan, dan trust luar negeri.
Menurut Sri Mulyani, uang kotor tersebut adalah jumlah yang cukup dan dapat memainkan peran besar untuk menyelesaikan masalah kemiskinan dan keterbelakangan pembangunan negara-negara berkembang dan terbelakang termasuk Indonesia.
Juli tahun 2016 Sri Mulyani diangkat menjadi menteri keuangan pemerintahan Jokowi-JK. Segera setelah itu lanmgsung menggebrak dengan program tax amnesti yakni suatu program pengampunan pajak yang tujuan utamanya adalah menarik uang oligarki taipan Indonesia yang disimpan di luar negeri. Uang yang dalam taksiran pemerintah jumlahnya sangat fantastis yakni mencapai belasan ribu triliun. UU tax amnesty tersebut mulai berlaku pada 18 Juli Tahun 2016.
Namun dalam perjalanannya tax amnesty gagal mencapai target awal yang dikampanyekan pemerintah yakni menarik uang dari luar negeri sebagai dana pembangunan dan sekaligus meningkatkan penerimaan pajak pemerintah. Transfer dana dari luar negeri jauh dari jumlah yang diharapkan, demikian juga target pajak ternyata berubah arah menyisir UKM, PNS, dan pelaku usaha nasional. Akibatnya program ini justru menghapuskan piutang pajak pemerintah dan sekaligus menghapus dendanya, yang justru menjadi pukulan yang menyebabkan jatuhnya penerimaan pajak itu sendiri.
Pertanyaannya, apa yang terjadi? Mengapa para oligarki taipan Indonesia tidak dapat mentransfer uang mereka yang di luar negeri? Mengapa mereka enggan membayar denda yang sesungguhnya amat kecil? Padahal dengan tax amnesty mereka bisa menghalalkan uang mereka yang diperoleh dari hasil penggelapan pajak, bisnis ilegal, sebagaimana yang disinyalir Sri Mulyani dalam artikel dirty money and development?
Padahal ancaman bagi para oligarki taipan amatlah serius jika mereka tidak segera membersihkan aset-aset mereka. Karena Kemenkeu – pada 7 Juni 2017, Pemerintah Indonesia menandatangani Multilateral Instrument on Tax Treaty (MLI) di Kantor Pusat Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Paris. MLI merupakan upaya bersama secara global untuk mencegah praktik-praktik yang dilakukan wajib pajak/badan usaha, untuk mengalihkan keuntungan dan menggerus basis pajak suatu negara (Base Erosion and Profit Shifting).
Ternyata bukan para oligarki taipan ini tidak mau mentransfer uang-uang mereka di luar megeri. Akan tatapi ternyata mereka sudah tidak dapat lagi mengakses kekayaan keuangan mereka tersebut. Atau dalam bahasa lain proposal pemerintah Indonesia untuk mengembalikan uang kotor kepada para pemiliknya di Indonesia ditolak oleh “penata keuangan global” atau dalam bahasa lain kekayaan keuangan mereka sudah dikunci.
Kekayaan keuangan senilai lebih dari Rp. 11 ribu triliun tersebut sebagaimana dikatakan Bambang Brojonohoro (Sekarang Kepala Bappenas), ternyata oleh internasional tidak dikategorikan sebagai masalah perpajakan atau tidak diketegorikan dalam lingkup sengketa perpajakan. Uang tersebut telah dikategorikan sebagai hasil kejahatan keuangan yang harus diselesaikan bukan dengan tax amnesty akan tetapi proses peradilan terhadap kejahatan keuangan.
Maka pada Februari 2019 Indonesia “dipaksa” menandatangani perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) dengan Swiss di Bernerhof Bern, Swiss. Swiss merupakan tempat di mana sebagian besar uang hasil kejahatan keuangan itu disimpan.
Penandatangan kesepakatan itu dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI, Yasonna Hamonangan Laoly, dengan Menteri Kehakiman Swiss, Karin Keller-Sutter.
Penandatangan MLA Indonesia-Swiss merupakan babak baru dalam menyelesaikan kasus kejahatan keuangan di Indonesia. Perjanjian yang disepakati berisi 39 pasal ini antara lain mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan. Berbeda dengan tax ambesty yang merupakan program mengembalikan kekayaan keuangan kepada Pemiliknya, MLA adalah program untuk memgembalikan hasil kejahatan keuangan kepada negara yang merupakan asal-usul uang tersebut.
Selama ini terutama sepanjang era reformasi, oligarki taipan Indonesia adalah buffer dari sistem yang bekerja di negara ini. Oligarki taipan yang menentukan sehat tidaknya APBN, oligarki taipan yang mengatur sirkulasi kekuasaan, oligarki taipan yang membiayai media massa, bahkan oligarki taipan yang menentukan UUD diamandemen atau tidak dan UU sektoral bisa disahkan atau tidak. Intinya sepanjang era reformasi ini oligarki taipan sangat power full dalam menentukan arah kebijakan ekonomi dan politik Indonesia.
Demikian pula dengan yang mereka simpan di luar negeri dapat sewaktu-waktu diambil dalam rangka menopang seluruh kegiatan politik dalam kapasitasnya sebagai buffer politik Indonesia.
Namun pasca ditandatangani MLA maka secara otomatis peran mereka sebagai buffer politik tidak lagi dapat dijalankan. Jelas saja karena uangnya sudah tidak lagi dapat diakses. Bahkan lebih jauh lagi mereka sudah dicap sebagai bandit atau penjahat keuangan yang sewaktu-waktu dapat ditangkap oleh Interpol.
Sehingga tidak heran sebuah artikel mengulas panjang lebar tentang kehebatan oligarki taipan Indonesia dan peran mereka dalam pembangunan Indonesia. Artikel yang berjudul Today’s Tycoons: Becoming Good Citizens, mengupas bahwa merekalah yang memberi andil besar terhadap pembangunan industri, penciptaan kesempatan kerja dan pengentasan kemiskinan di Indonesia. Entah bagaimana artikel tersebut tampak sebagai sebuah apologi menyambut MLA. Tampak sekali bahwa mereka masih berharap dapat menjangkau kembali kekayaan keuangan mereka untuk menegaskan posisinya sebagai buffer sistem poltik reformasi.
Tapi sejarah memang selalu bergerak ke depan, perubahan seringkali memakan anak kandungnya sendiri. Oligarki taipan sebagai anak kandung dari sistem politik dan ekonomi semi kolonial bikinan barat di Indonesia tampaknya akan dieksekusi oleh bapaknya sendiri. Kapitalisme yang juga tengah sekarat berhadapan dengan krisis yang bertemu dengan gelombang digitalisasi, keterbukaan/transparansi.
Jika pemerintah Indonesia tidak berkomitmen menjalankan MLA maka itu akan menjadi justifikasi bagi penata keuangan global untuk menyita kekayaan keuangan oligarki taipan Indonesia. Bagi rakyat Indonesia sendiri, apabila pemerintah Indonesia tidak mau menjalankan MLA secara sungguh-sungguh maka kas pemerintah akan kering kerontang dan pada saat yang sama pemerintah akan dicap melindungi bandit keuangan.(*)
Sumber: https://rmol.id/read/2019/05/27/391214/robohnya-buffer-orde-reformasi