Oleh: Trisno Mais SAP
Warga Desa Buo, Loloda Malut
SEJARAH konseptualisasi Pancasila telah melintas sejumlah tahapan. Mulai dari tahapan pembuahan, perumusan, dan pengesahan. Proses pembuahan kurang lebih dimulai sejak 1920-an dalam bentuk rintisan–rintisan gagasan untuk mencari sintesis antarideologi dan gerakan, seiring dengan proses “penemuan” Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama (civic nationalism).
Perumusan dimulai pada masa persidangan pertama BPUPK dengan pidato Soekarno (1 Juni) sebagai creme de la crème- nya yang memunculkan istilah Panca Sila, yang digodok melalui pertemuan Chuo Sangi In dengan membentuk “Panitia Sembilan” yang menyempurnakan rumusan Pancasila dari Pidato Soekarno dalam versi Piagam Jakarta (yang mengandung “tujuh kata”).
Namun, pengesehana dimulai sejak 18 Agustus 1945 yang mengikat secara konstitusional dalam kehidupan bernegara. Setiap tahap konseptualisasi tersebut melibatkan partisipasi pelbagai unsur dan golongan.
Ketika kita meruntut jauh perjalanan Pancasila itu dibentuk, maka dari itu, Pancasila adalah karya bersama. Oleh sebab itu, warisan leluhur nusantara ini perlu terus dirawat. Misalnya, dengan tidak menjadikan Pancasila sebagai alat atau instrument memukul kelompok tertentu yang dianggap tidak pancasilais, bahkan mendiskreditkan kelompok–kelompok tertentu. Kita paling tidak punya sejuta fakta sejarah bahwa Pancasila itu dibentuk oleh beragam pikiran. Pancasila bukan karena kepentingan suku, ras serta agama tertentu, semata. Pancasila sejatinya mengkomodir semua elemen.
Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar (falsafah) Negara, pandangan hidup, ideologi nasional, dan ligatur (pemersatu) dalam perikehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia adalah bentuk komitmen kolektif. Namun faktanya Pancasila semacam terjadi distorsi nilai.
Sebagai ‘negara kepulauan’ terbesar di dunia, yang membujur di titik strategis persilangan antarbenua dan antarsamudera, dengan daya tarik kekayaan sumber daya yang berlimpah, Indonesia sejak lama menjadi titik-temu penjelajahan bahari yang membawa pelbagai arus peradaban. Maka, disebutlah nusantara sebagai tamansari peradaban dunia.
Sejak 1924, Perhimpunan Indonesia (PI), di Belanda, mulai merumuskan konsepsi ideologi politiknya bahwa tujuan kemerdekaan politik haruslah didasarkan pada empat prinsip: persatuan nasional, solidaritas, non – kooperasi, dan kemandirian (self – help). Persatuan nasional mengartikan bahwa adalah harus melakukan pengikatan bersama dari ragam ideology dan identitas (etnis, agama, dan kelas) ke dalam front perjuangan bersama untuk melawan kolonial.
Solidaritas adalah menghapuskan perbedaan – perbedaan di antara rakyat Indonesia. Non – kooperasi berarti keharusan untuk mencapai kemerdekaan melalui usaha – usaha bangsa sendiri. Kemandirian berarti keharusan untuk membangun sebuah struktur nasional, politik, sosial, ekonomi, dan hukum alternatif yang berakar kuat dalam masyarakat pribumi yang sejajar dengan struktur pemerintah kolonial (Ingleson, 1979: 5).
Konsepsi ideologi PI ini pada kenyataan merupakan buah sintesis dari ideologi – idologi terdahulu.Persatuan nasional merupakan tema utama dari Indische Partji, non- kopoperasi merupakan platform politik kaum komunis, dan kemandirian merupakan tema dari Serakat Islam. Sementara solidaritas merupakan simpul yang menyatukan ketiga tema utama.
Dalam pandangan Soekarno, pergerakan rakyat Indonesia mempunyai tiga sifat: ‘nasionalistis, islamistis, marxistis’. Paham – paham ini pula, menurutnya, yang menjadi roh pergerakan – pergerakan di Asia. Demi persatuan, “Mempelejari, mencari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan, bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tidak berguna berseteruan satu sama lain, membuktikan pula, bahwa ketiga gelombang ini bisa bekerja bersama – sama menjadi satu ombak-topan yang tidak dapat ditahan terjangnya, itulah kewajiban yang kita harus sama memikulnya. Pada awal tahun 1930-an, dia mulai merumuskan sintesis dari subtansi ketiga unsur ideologi tersebut dalam istilah “sosio-nasionalisme” dan “sosio- demokrasi”.
Sosio- nasionalisme yang dia maksudkan adalah semnagat kebangsaan yang menjunjung tinggi perikemanusian ke dalam dank e luar, “yang tidak mencari ‘gebyarnya’ atau kilauanya negeri ke luar saja, tetapi ia harus mencari selamatnya semua manusia”. Adapun “sosio-demokrasi” adalah demokrasi yang memperjuangkan keadilan sosial, yang tidak hanya mempedulikan hak – hak sipil dan politik, melainkan juga hak ekonomi, “demokrasi sejati jang mencari keberesan rezeki” (1932a; 1965: 175).
Apa pun buah pikiran itu nantinya, kita masih harus terus merawat warisan leluhur nusantara. Selamat Hari Lahir Pancasila.(*)