Oleh: Mutlaben Kapita
Pegiat Literasi Maluku Utara, Tokoh Pemuda Kao Barat
MENGUAT sertifikasi pra-nikah sebagai syarat menikah. Adalah wacana kebijakan yang dihembuskan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy. Menteri satu ini dikenal kontroversi dengan kebijakan. Kebijakan zonasi dalam PPDB dan full day school pernah menjadi kontroversi ketika menjabat Mendikbud di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo periode pertama.
Periode kedua, Presiden Joko Widodo kembali mempercayakan Muhadjir Effendy mengisi jabatan yakni, Menko PMK di Kabinet Indonesia Maju. Belum lama menjabat sebagai Menko PMK, ia mewacanakan akan menerapkan kebijakan sertifikasi pra-nikah bagi pasangan yang hendak menikah. Wacana kebijakan ini telah mengundang polemik di ruang publik.
Adapun sertifikasi pra-nikah ini rencana dicanangkan tahun 2020. Wacana pemberlakuan sertifikasi pra-nikah ialah bertolak dari tingginya angka perceraian di Indonesia. Sehingga menurut Menko PMK, Muhadjir Effendy, perlu ada kebijakan yang dapat menekan angka perceraian di Indonesia.
Hal ini bisa kita lihat dari website Mahkamah Agung (MA) bahwa sebanyak sebanyak 419.268 pasangan bercerai sepanjang 2018. Dari jumlah itu, inisiatif perceraian paling banyak dari pihak perempuan yaitu 307.778 perempuan. Sedangkan dari pihak laki-laki sebanyak 111.490 orang.
Jumlah di atas merupakan perceraian yang dilakukan atas dasar pernikahan pasangan muslim. Belum termasuk pasangan nonmuslim, yang melakukan perceraian di pengadilan umum.
Dengan demikian, sebagai langkah cegah tidak terjadinya perceraian, setiap pasangan sebelum melangsungkan ikatan nikah wajib mengikuti bimbingan pra-nikah dari petugas KUA dan penyuluh Kemenag selama tiga bulan.
Sekira tiga alasan mendasar pembimbingan pra-nikah: Pertama, memastikan calon pengantin paham dan menguasai pengetahuan dasar tentang kesehatan keluarga; Kedua, menekan angka penyakit berbahaya pada anak termasuk stunting; Ketiga, pemahaman seputar kehidupan berkeluarga juga diharapkan dapat menekan angka perceraian.
Bagi pasangan yang tidak ikut bimbingan pra-nikah tidak boleh menikah. Kebijakan tersebut perlu diproyeksikan dampak ketika diterapkan; apakah bisa mengurangi angka perceraian atau sebaliknya hanya menimbulkan masalah baru.
Karena apabila merujuk pada pendapat Omar yang melihat musabab perceraian. Ia berpendapat bahwa perceraian merupakan upaya untuk melepaskan ikatan suami-isteri dari suatu perkawinan yang disebabkan oleh alasan tertentu.
Omar tidak menjelaskan secara eksplisit alasan pasangan (suami-istri) yang memilih mengakhiri suatu bahtera rumah tangga yang sudah dipersatukan Allah menurut keyakinan agama. Tetapi alasan pada umumnya yang menjadi sebab perceraian sebagaimana dikatakan Sulistyawati ialah: kurangnya kesiapan mental; permasalahan ekonomi; kurangnya komunikasi antar pasangan; campur tangan keluarga pasangan; perselingkuhan. (Putri, 2008: 28)
Jauh dari itu, apabila menelisik terjadinya perceraian, ternyata masalah ekonomi sebagai sumber utama penyebab retaknya hubungan rumah tangga. Perempuan lebih sering menyoal masalah ekonomi rumah tangga. Dikarenakan, perempuan pada dasarnya selalu punya harapan besar sebelum menikah. Kelak setelah menikah hidup sejahtera dan bahagia.
Pada saat menikah dan yang diharapkan tidak terpenuhi, disitulah membuka peluang dalam pikiran untuk bercerai dan mencari kebahagiaan dengan orang lain. Tidak heran inisiatif perceraian lebih banyak berasal dari kaum perempuan, ketimbang laki-laki sebagaimana sajian data angka perceraian sebelumnya.
Selain masalah ekonomi, masalah KDRT dan penindasan perempuan dalam rumah tangga kadang menjadi momok timbulnya masalah yang hingga berimplikasi pada perceraian. Ini sudah menjadi masalah klasik yang rentan terjadi.
Apalagi KDRT, kerap dialami perempuan dalam rumah tangga. Sehingga ketika tidak menerima perlakuan laki-laki yang memperlakukan perempuan (istri) bagai budak dalam rumah tangga dapat menyelesaikan dan atau mengakhiri rumah tangga dengan bercerai.
Namun biasanya juga, masalah kurangnya komunikasi, egoisme, seksualitas yang yang mengakibatkan runtuhnya bahtera rumah tangga.
Dengan itu, sertifikasi pra-nikah yang tengah diwacanakan oleh Menko PMK, Muhadjir Effendy, dianggap sebagai solusi mutakhir menekan angka perceraian. Akan tetapi, ini perlu kajian yang matang sebelum diterapkan.
Sebab, perkawinan ialah urusan privat yang juga menyangkut keyakinan agama. Sehingga pemerintah mestinya memilah antara urusan agama dan negara. Pemerintah tidak harus jauh masuk di ranah agama yang pada akhirnya hanya memperumit bagi pasangan yang hendak menikah.
Kerumitan yang dibuat pemerintah bagi pasangan yang hendak menikah harus melalui bimbingan pra-nikah dan menjadi wajib memiliki sertifikasi pra-nikah, bisa menyurutkan niat pasangan yang mau menikah dan memilih “kumpul kebo“.
Pula ini akan menciptakan ladang baru korupsi di organisasi birokrasi. Jual-beli sertifikat pra-nikah besar kemungkinan terjadi antara pejabat publik dan pasangan yang akan menikah.
Oleh karenanya, pemerintah tidak harus mempersulit syarat menikah dengan pelbagai ketentuan baru, selain syarat menikah yang sudah diatur masing-masing agama. Katolik misalnya punya syarat sebelum menikah. Dan tentu semua agama mengaturnya.
Tinggal saat ini, meningkatnya angka perceraian di Indonesia menjadi alarm bagi setiap agama. Harus lebih giat lagi dalam memberikan pemahaman kepada jemaah tentang esensi pernikahan dan konsekuensi perceraian seturut ajaran agama yang dianut. Hal demikian yang patut disampaikan dalam ceramah-ceramah, khotbah oleh para ustaz dan pendeta terhadap jemaah.
Misalnya dalam agama Kristen dan Katolik. Ayat firman seperti terdapat dalam injil Markus 10 : 9 “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.“
Mesti gencar diwartakan dalam khotbah-khotbah. Fokusnya bukan hanya pada usia dewasa, sudah menikah atau pasangan yang sebelum menikah tetapi juga pada anak-anak yang masih remaja sudah membangun suatu pola pemahaman yang radikal berkait makna pernikahan sesuai ajaran. Supaya benar–benar pahami makna hakiki suatu pernikahan. Begitupun dalam agama lain, patut memberikan pemahaman tentang pernikahan berdasarkan ajaran yang dianut.
Sedangkan urusan pemerintah dalam menekan angka perceraian ialah fokus pada kebijakan perbaikan masalah ekonomi. Salah satunya membuka lapangan pekerjaan sebagai solusi mudarat memperbaiki ekonomi rumah tangga. Sebab, banyak kasus perceraian dikarenakan masalah ekonomi.
Ekonomi rumah tangga yang mapan dan atau mampu dalam memenuhi kebutuhan dasar (pangan, sandang dan papan), dapat meminimalkan masalah rumah yang kerap masalah ekonomi menjadi pemicu keretakan rumah tangga. Hal tersebut bisa dilihat pada rumah tangga yang mapan secara ekonomi. Keharmonisan rumah tangga sangat terjaga, kesehatan keluarga terjamin, anak hidup sehat dan tidak mengalami stunting.
Selain perbaikan ekonomi rumah tangga, pemerintah harus masif sosialisasi batasan usia menikah sesuai undang-undang perkawinan. Agar mengetahui usia layak nikah dan risiko kawin dini. Karena menikah dibutuhkan suatu mental yang siap membangun rumah tangga. Hal demikian dikarenakan ketika menikah bukan bicara romantisme semata, tetapi lebih banyak berkutat pada usaha menghidupkan rumah tangga, agar bisa hidup nyaman, aman, bahagia dan sejahtera.
Hal-hal seperti inilah yang harusnya lebih difokuskan oleh pemerintah, ketimbang mengurus urusan privat dan domain agama.(*)