Oleh: M Rizal Fadillah
Pemerhati politik
APA yang dipandang buruk oleh publik semestinya disikapi dengan rasa malu oleh pejabat publik. Rasa salah harus ada dan kemudian memperbaiki dengan semaksimal mungkin.
Watak koreksi diri itu mulia. Tidak mengulangi perbuatan tersebut. Menutupi dan membuat langkah yang lebih baik. Kehilangan rasa malu menjadi bahaya, apalagi melekat pada pejabat.
Garuda Indonesia termasuk BUMN merugi meski aneh di tengah tingkat keterisian yang cukup bagus dan menjadi airways yang favorit.
Akan tetapi perilaku Dirut yang gonjang ganjing dalam kasus penyelundupan motor Harley Davidson dan Sepeda Brampton cukup ironis. Akhirnya bongkar bongkar perilaku jabatan Ari Askhara sebelumnya dan itu memang memalukan.
Karyawan menjadi saksi kemewahan. Pemecatan adalah sanksi teringan. Semestinya ada pemidanaan. Cuma tak tahu malunya adalah perlawanan atas pemecatan tersebut. Artinya masih juga merasa tak bersalah.
24 BUMN telah merugi. Perusahaan plat merah yang “kebakaran” antara lain PT Iglas, PT INTI, Indo Farma, Aneka Tambang, Pos Indonesia, PAL, PT Dirgantara Indonesia, Bulog hingga Garuda Indonesia.
Di tengah keprihatinan dan kengerian merosotnya sejumlah BUMN baik Menteri Rini Soemarno dulu maupun Erick Tohir yang baru masih menunjukkan sikap digjaya. Tidak terlihat prihatin, sesal, dosa atau spirit untuk membangkitkan.
Mantan Napi saja seperti Ahok masih ditempatkan Erick di Komut Pertamina. Dengan nyaman presiden pun membagi bagi kroni untuk berbagai jabatan di BUMN.
Gubernur Ganjar Pranowo menantang “apa salahnya jika suka menonton video porno?” Sebenarnya salahnya adalah tak punya malu. Perbuatan buruk bukan untuk dipamerkan.
Tak salah Ganjar suka video porno. Tapi bekal “moralitas” semestinya malu untuk memamerkan aib. Simpan saja di kantong pribadi, bukan untuk digembor gemborkan. Ganjar itu Gubernur bukan preman klub malam.
Menteri Nadiem datang ke acara resmi pelantikan Rektor UI dengan mengenakan pakaian dan sepatu “casual”. Sementara Rektor memakai toga dan hadirin berpakaian resmi. Milenial boleh akan tetapi menghargai suasana acara juga penting. Tak boleh seenaknya.
Kehebatan sang Menteri juga belum terbukti selain simplikasi solusi pendidikan. Tak ada gagasan yang “greget” dan sistemik. Kepandaian, kepakaran, atau modal yang dimiliki belum sebanding dengan nilai “kecuekan” penampilan. Menteri “ojol” ini pun dinilai memiliki kendali malu yang rendah.
Ujungnya pola dan gaya Presiden juga dinilai. Semestinya malu jika omongan beda dari kenyataan. Stop impor sambil terus buat perjanjian impor gula atau beras. Sementara hancur hancuran ribuan ton beras yang ada mau ” dibuang”.
Malu jika bekerja lebih pada gambaran pencitraan. Sekadar “action” menggendong anak, berfoto dengan tunawisma, atau mengasuh cucu yang dipamerkan. Pak Jokowi belum berstatus presiden kharismatik, sehingga pencitraan bukan momen yang tepat.
Budaya malu harus dihidupkan dan ditumbuhsuburkan karena peka terhadap perbuatan yang memalukan adalah suatu kebaikan. Sebaliknya abai pada hal ini menjadi sebab dari kehancuran.
Sabda Nabi “idza arooda an yuhlika abdan, naza’a minhul haya”. Jika Allah menghendaki rusaknya hamba, maka dicabutlah rasa malu.(*)
Sumber: https://rmol.id/read/2019/12/09/412915/hilangnya-rasa-dan-budaya-malu