Oleh: M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik
SEJAK kemarin handphone off, rusak kena air. Baru bisa on pagi ini. Terbukalah berita-berita medsos. Eh ramai soal kejutan pilihan menu makan Pak Presiden yaitu Darurat Sipil. Weleh kok kesini ya?
Semula yang ditunggu adalah PP yang dijanjikan oleh Pak Mahfud, yang harapannya dikaitkan dengan penanggulangan bencana dan karantina wilayah khususnya sebagai implementasi dari UU Kekarantinaan. Ini tentu menyimpang jauh. Lari dari persoalan yang dihadapi.
Persoalannya adalah wabah virus corona, bencana kesehatan. Semua fokus pada penanganan ini. Wacana berada di peluang lockdown atau tidak untuk menyelamatkan nyawa rakyat akibat wabah. Rakyat sedang bingung antara “stay at home” sebagai upaya mencegah penyebaran dengan kebutuhan mencari nafkah kehidupan.
Secercah harapan dengan penyiapan PP yang diduga dapat mengejawantahkan kewajiban Pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat sebagaimana amanat undang undang. Isu kartu sembako mengemuka, meski praktik alokasi tidak mudah juga.
Belum lagi konsistensi dan kesiapan anggaran yang ada. Tapi “goodwill” ini ditanggapi baik. Rupanya licik juga Pemerintah untuk menutupi ketidakmampuan diri. Bukan lockdown atau karantina kewilayahan yang diambil keputusannya, malah pembatasan dan darurat sipil. Ini menggeser persoalan sosial kepada politik.
Atmosfer darurat sipil adalah pembangkangan rakyat yang menggoncangkan negara. Memberi legalitas Pemerintah untuk berbuat apa saja kepada rakyat demi negara. Membatasi, menggeledah, hingga menembak. “Musuh” virus corona kok diubah menjadi “memusuhi rakyat”.
Mengapa semakin amburadul penanganan krisis kesehatan ini. Rakyat yang bingung dan perlu perlindungan malah dianggap sebagai sumber masalah dan harus dimusuhi. Dinilai sebagai pembangkangan sipil yang harus dibuat skim “darurat”.
Panik kah Pemerintahan Jokowi? Atau ada “pembisik” yang memang berniat menghancurkan negara? Dan dia atau mereka itu adalah para penghianat bangsa? Ini membawa kita bangsa Indonesia bukan saja darurat kesehatan atau ekonomi, tetapi sudah bergeser menjadi darurat politik.
Tidak ada penghargaan kepada rakyat lagi. Negeri kekuasaan, negara para pejabat. Demokrasi yang dikebiri demi kursi yang dipertahankan. Nyawa rakyat yang ujungnya dikorbankan. Sayang Pemerintah tidak belajar dari Pegadaian yang bermotto “menyelesaikan masalah tanpa masalah”. Justru yang terjadi adalah menyelesaikan masalah dengan banyak masalah. Masalah yang semakin bertumpuk.(*)
Sumber: https://rmol.id/read/2020/03/31/428035/eh-kok-darurat-sipil