DARI Udon Thani ini, dari pojok timur laut Thailand ini, saya ikuti perkembangan dunia. India-Pakistan memanas. Trump-Kim Summit di Hanoi. Cohen bersaksi di DPR. Huawei menggebrak. Pun Brexit masih bingung.
Nasib perang dagang? Entahlah. Padahal gencatan senjatanya berakhir hari ini.
Memang Presiden Donald Trump sudah menegaskan: tidak ada peningkatan tarif baru. Untuk impor barang dari Tiongkok. Menunggu pertemuan puncak Trump – Xi Jinping. Di ‘istana’ pribadi Trump. Di dekat danau besar. Di Mar-a-Lago, Frorida. Begitu besar, luas dan indahnya ‘Istana Mar-a-Lago’. Yang artinya Anda tahu sendiri: sea of lake.
Trump sendiri Anda juga tahu: tadi malam meninggalkan Vietnam. Setelah dua hari bertemu pemimpin Korut, Kim Jong-Un.
Tujuan Trump hanya satu: Kim benar-benar bongkar senjata nuklirnya. Atau mungkin dua: dapat hadiah Nobel perdamaian.
Jangan sampai kalah dengan orang yang paling dibencinya: Obama.
Kok bisa-bisanya orang kulit hitam jadi presiden Amerika. Dua periode. Dapat hadiah Nobel pula. Padahal, katanya pada Cohen, mana ada negara yang tidak gagal. Bila dipimpin orang hitam.
Keinginan Kim benar-benar hanya satu: sanksi ekonomi dicabut. Itu tergantung sikap Amerika. Kim sudah tidak sabar. Ingin membangun ekonomi negaranya.
Michael Cohen sendiri kini bikin repot Trump. Lagi asyik-asyiknya menemui Kim, Cohen bersaksi di DPR Amerika. Tegas-tegas mengatakan Trump itu rasis. Penipu. Pembohong. Di banyak hal. Soal bisnisnya di Rusia. Pencurian email-email Capres yang dikalahkannya: Hillary Clinton. Juga uang bungkam untuk wanita yang ditidurinya.
Cohen tahu semua itu. Ia begitu lama jadi pengacara Trump. “Trump itu bukan ingin membuat America great again,” katanya. “Tapi membuat bisnisnya great again,” tambahnya.
Cohen sudah dijatuhi hukuman tiga tahun. Tinggal menjalaninya. Tanpa proses persidangan. Lantaran ia sudah mengaku salah sejak awal.
Trump sendiri buru-buru meninggalkan Vietnam. Balik ke Amerika lebih cepat. Alasannya: tidak mau lagi bicara dengan Kim.
Trump juga tidak mau cabut sanksi. Alasannya: Korut belum benar-benar akhiri program nuklirnya.
Trump seperti ngambek. Sewot. Marah.
Makan siang bersama dibatalkan. Tanda tangan kesepakatan diurungkan. Ngloyor begitu saja. Sendirian menemui wartawan.
Kim salah waktu. Salah tempat. Bertemu Trump di saat serba tidak tepat. Perhatian Trump lagi ke kesaksian Cohen.
Itulah yang utama.
Dua hal lainnya saya hanya bisa berdoa: semoga India dan Pakistan bisa menahan diri. Dan semoga rakyat Inggris kembali berakal sehat: dalam hal Brexit.
Saya bersyukur menunda kepergian ke Pakistan. Yang mestinya berangkat Senin lalu. Saya bersyukur tiba-tiba harus ke Doi Tung, Thailand. Hari itu.
Begitu mendarat di Chiang Mai saya baca breaking news: Pakistan menutup wilayah udaranya. Lalu berita lainnya: Pakistan menembak jatuh pesawat militer India. Menangkap pilotnya.
Berarti hari itu pendaratan pesawat komersial terganggu.
Apa yang terjadi di Kashmir itu saya bisa membayangkan sangat baik. Saya pernah ke sana. Bersama Robert Lai. Teman baik saya dari Singapura itu.
Waktu itu saya lagi keliling India: Mumbai, Gujarat, Chennai, Bangalore dan Kalkuta. Masih punya waktu lowong satu hari. Saya langsung ke bandara New Delhi. Melihat papan perjalanan pesawat. Siapa tahu ada jurusan yang ingin saya kunjungi. Misalnya Uttar Pradesh, Punjab atau Kashmir.
Robert selalu keberatan dengan gaya perjalanan seperti ini. Hari itu saya memang baru setahun lewat. Menjalani operasi ganti hati di Tianjin. Tapi, sambil ngedumel, Robert tetap ikut ke mana pun saya pergi.
Kebetulan saat itu ada pesawat jurusan Kashmir. Tepatnya ke Srinagar. Ibukota Kashmir. Akan berangkat dua jam lagi. Kami pun bergegas beli tiket.
“Tiket belum bisa dijual,” ujar petugas saat itu.
“Kenapa?,” tanya saya.
“Bandaranya masih ditutup. Tunggu info satu jam lagi,” jawabnya.
Bandara Srinagar memang ‘buka-tutup’. Tergantung keadaan keamanan Kashmir. Lagi tegang atau tidak.
Saya disuruh menunggu. Robert terus merayu saya. Untuk tidak usah ke Kashmir. Yang terbukti lagi tidak aman itu.
“Bandara sudah dibuka. Silakan,” ujar petugas.
Kami pun membeli tiket. Terbang satu jam lebih. Ke arah utara.
Tiba di Kashmir saya mendapat info. Siang nanti kemungkinan besar bandara ditutup lagi.
Kami pun cepat-cepat cari taksi. Ingin keliling kota Srinagar. Yang di tengahnya ada danau besar yang indah. Saya ingin ke pusat perdagangan karpetnya. Yang terkenal itu.
Ternyata kota Srinagar seperti mati. Semua toko tutup. Tidak terlihat ada lalu-lalang mobil. Tidak ada manusia melintas di jalan.
Di beberapa sudut kota pemuda berkelompok. Saling berbisik. “Mereka akan bergerak,” kata sopir taxi. Suasana mencekam.
“Mereka ingin merdeka dari India,” tambahnya.
Kami terus menyusuri pinggiran danau. Ke luar kota Srinagar. Menuju pusat perdagangan karpet. Hanya lihat-lihat sebentar. Bertanya-tanya sedapatnya. Lalu lapar.
Belum makan. Pun belum sarapan.
Tidak ada restoran buka. Saya dibawa sopir ke dalam satu gang sempit. Jalan kaki. Sepi. Mencekam. Berliku. Sang sopir mengetuk pintu.
“Ini dari Indonesia. Perlu makan,” katanya.
“Saya buatkan,” kata pemilik rumah. Laki-laki. Pakaian khas India. Atau khas Pakistan. Tepatnya: khas Kashmir.
Saya disuruh duduk di dalam rumah itu. Yang pintu dan jendelanya ditutup. Tidak ada suara apa-apa. Robert kelihatan lebih waspada.
Tuan rumah datang dengan membawa makanan: ayam masak tandoori. Satu ekor lengkap. Ukuran besar. Kami melahapnya. Tanpa nasi. Tanpa roti. Tanpa saus. Tanpa sambal. Tapi rasanya bukan main lezatnya. Enak sekali.
Mungkin karena lapar.
Saya sangat terkenang dengan kelezatan ayam tandoori Kashmir hari itu. Kelak saya sering memesan tandoori. Di negara mana pun. Kalau lagi kangen Kashmir. Tapi belum pernah menemukan tandoori selezat di Kashmir hari itu.
Saat makan itulah saya diberi tahu sopir. Bandara segera ditutup. Satu jam lagi ada pesawat mendarat. Dan akan langsung kembali.
Kami bergegas ke bandara. Beli tiket. Pesawat pun tiba. Kami boarding ke New Delhi.
Malamnya saya lihat di TV. Kerusuhan besar terjadi di Srinagar.
Minggu lalu bom bunuh diri meledak di Kashmir. Lebih 30 orang tewas.
India menuduh Pakistan di balik pemberontak militan Kashmir. Pakistan membantah keras.
Kashmir memang selalu jadi kerikil tajam. Bagi India dan Pakistan. Sebagian wilayahnya diakui India. Masuk India. Sebagian lagi diakui Pakistan. Masuk Pakistan.
India ingin merebut yang dikuasai Pakistan. Pakistan ingin merebut yang dikuasai India. Sebagian orang Kashmir sendiri tidak mau dua-duanya. Ingin merdeka.
Semua itu gara-gara Inggris memisahkan India dan Pakistan. Secara kurang tuntas. Seperti buru-buru. Meninggalkan masalah Kashmir. Sejak itu sudah pecah tiga kali perang. Antara India dan Pakistan.
Pemisahan India-Pakistan itu sebenarnya mengakibatkan tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah. Setidaknya salah satu yang terbesar.
Kita di Indonesia kurang mengikuti tragedi itu. Waktu itu. Seolah tidak terjadi apa-apa di sana.
Mengapa?
Kita sendiri lagi mengalami tragedi. Tragedi yang tidak kalah mengerikannya: Gestapu/PKI.
Tiongkok juga kurang perhatian pada tragedi itu. Tiongkok sendiri lagi dalam tragedi: revolusi kebudayaan (文化大革命).
Kini India sangat marah pada Pakistan. Ingin menyerang basis militan Kashmir. Di wilayah Pakistan.
Oleh Pakistan itu dianggap pelanggaran wilayah. Pakistan pun menembak jatuh pesawat militer India.
Untungnya Perdana Menteri Pakistan berkepala dingin. Imran Khan terus menyerukan peredaan ketegangan. Lewat dialog. “Sering kali perang itu tidak terkontrol. Dan tidak ada yang menang,” ujarnya.
Kepada yang suka perang Imran Khan bilang: perang itu bukan kegiatan wisata.
Sejak terpilih di pemilu tahun lalu Imran sudah mengutamakan program damai dengan India. Sampai teman-teman Indianya diundang saat pelantikan. Yakni teman sesama atlet kriketnya.
“Kalau India dan Pakistan bisa bersahabat banyak yang tidak perlu diimpor dengan devisa. Kita bisa saling tukar barang,” kata Imran saat itu.
Tapi masa kampanye pemilu di India kini lagi panas-panasnya. Pemilu sudah dekat. Awal Mei nanti. Isu ‘lawan Pakistan!’ bisa menyenangkan pemilih mayoritas di India.
Mungkin setelah Pemilu akan reda sendiri. Siapa pun pemenangnya.
Kim dan Trump saja bisa bertemu di Hanoi. Meski akhirnya ‘No! No!’.
Kenapa India dan Pakistan harus ikutan ‘nehe! nehe!’.(*)