Kolom

Akurasi Menembak dan Kelestarian Burung Mata Merah

×

Akurasi Menembak dan Kelestarian Burung Mata Merah

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi : Burung Mata Merah (Foto : Net)

Oleh: July Randales Manik SHut

Alumni Kehutanan UNIERA

APLONIS metalica ini merupakan salah satu burung yang hanya bisa ditemukan di kawasan timur Indonesia dan Australia. Dengan ukuran yang tidak terlalu besar sekitar 23-25 cm, dengan warna bulu hitam, hijau, dan lembayung ungu yang mengkilap.

Ciri khas burung ini memiliki mata berwarna merah menyala sehingga masyarakat Halmahera umunya menyebut burung mata merah. Burung ini tergolong cukup umum dan sangat mudah ditemukan mulai dari sekitar rumah, hutan mangrove dan areal terbuka lainnya. Jenis ini biasanya hidup secara komunal atau berkelompok dan termasuk jenis pemakan buah contohnya buah Ficus, palem, papaya dan sebagainya.

Fenomena akhir-akhir ini, masyarakat sering terlihat menembaki burung Mata merah (Perling ungu) pada pohon Mahoni di depan SPBU di Desa Wari Kec. Tobelo. Hampir setiap hari para penembak liar berkumpul dan memburu burung jenis ini, biasanya burung ini menghabiskan waktu dari pagi sampai siang untuk terbang bersama koloninya, mencari makan dan bertengger di cabang-cabang pohon, kemudian  pada sore hari menjelang malam akan berkumpul untuk beristirahat dan tidur.

Pohon Mahoni (Swietenia marcrophylla)  yang merupakan pohon peneduh yang sengaja ditanam di pinggir jalan dan juga sebagai pohon tidur jenis ini. Pohon ini merupakan tempat favorit bagi beberapa burung termasuk jenis mata merah, selain tajuk pohon yang sangat rimbun juga terdapat cukup banyak cabang sehingga cocok sebagai pohon tidur. Dari beberapa kali melakukan pengamatan dilokasi pohon tidur terdapat lebih dari 500 ekor burung yang tidur di satu pohon yang sama pada setiap hari.

Kegiatan tidak terpuji yang kerap dilakukan oleh masyarakat bahwa burung dijadikan sebagai objek untuk melatih kemampuan akurasi dalam menembak. Penembakan yang dilakukan secara masif dapat berdampak pada penurunan populasi dan memungkinkan pada keterancaman spesies tersebut.

Kita bisa berkaca pada jenis Nuri (Kasturi ternate) dan Kakatua putih yang pada beberapa tahun lalu jumlah populasi yang sangat banyak, namun sekarang jumlah populasi sangat sedikit. beberapa pernyataan yang sering muncul dari masyarakat bahwa mereka menjelaskan 10 tahun lalu burung Luri (Kasturi ternate) sering berterbangan disekitar rumah, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi. Ini merupakan salah satu dampak dari perburuan dan penangkapan yang dilakukan secara berlebihan dan tidak memperhatikan aspek kelestarian sehingga mengakibatkan penurunan populasi di alam semakin sedikit .

Kita juga bisa berkaca pada tragedi yang terjadi pada tahun 1958 di China yang mengalami krisis pangan dan mengakibatkan 45 juta orang tewas kelaparan karena berawal dari mereka membunuh burung Emprit. (burung gereja) Saat itu pemimpin Negara China memerintahkan masyarakat untuk membunuh dan memberantas kawanan burung emprit karena menganggap burung itu hama bagi petani.

Namun hilangnya burung emprit bukan menjadi solusi yang baik, melainkan menjadi malapetaka bagi masyarakat sehingga mengakibatkan hama seperti belalang dan ulat tidak terkendali di alam dan menyerang tanaman pertanian masyarakat. Karena burung emprit adalah predator alami yang mampu mengendalikan hama pertanian masyarakat.

Sebenarnya perlindungan terhadap satwa liar di Indonesia sendiri sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekositemnya, hanya saja penerapan diproritaskan terhadap satwa-satwa yang endemic dan sudah langka.

Dalam menjaga kelestarian burung  ini perlu kolaborasi antara pemerintah, pihak keamanan dan juga pihak BKSDA untuk  untuk memberikan edukasi dan penyadartahuan kepada masyarakat dan tata cara penggunaan senjata api/angin, sehingga tidak ada lagi penembakan maupun perburuan jenis ini.

Penulis menyarankan agar bersama-sama melestarikan, jangan sampai kondisinya  sama seperti Kakatua putih dan Kasturi ternate. Apakah kita tunggu burungnya punah baru kita sadar?. Hal ini mungkin belum terlambat untuk berbenah, mari kita saling mengingatkan satu sama lain bahwa burung juga merupakan mahluk ciptaan Tuhan yang mulia dan harus kita jaga dan lestarikan.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *