Kolom

Baiklah, Baiklah

×

Baiklah, Baiklah

Sebarkan artikel ini
Foto : Net

Oleh: Kris Tan, MA
Intelektual Muda Khonghucu

 

SAYA sangat suka cerita ini, ini kisah soal Guru Zen yang diceritakan kembali oleh Anthony de Mello dalam bukunya yang berjudul ‘The Song of Birds’.

Jangan-jangan pendiri twitter juga terinspirasi oleh buku ini. Judulnya Baiklah-Baiklah.

Anthony de Mello seorang Jesuit yang gara-gara bukunya dianggap ‘ngaco’ oleh sebagian koleganya.

Dalam bukunya de Mello banyak menceritakan otokritik pada ke-Kristenan dan berusaha mengajak pembacanya untuk melakukan kultivasi (membina) diri yang dalam tradisi Khonghucu disebut ‘membina diri’

Begini ceritanya:

“Seorang gadis di kampung nelayan hamil di luar nikah, Setelah berkali-kali dipukuli, akhirnya ia mengaku bahwa bapak dari anak yang dikandungnya adalah Guru Zen yang merenung sepanjang hari di dalam kuil di luar desa.

Orangtua si gadis bersama banyak penduduk desa beramai-ramai menuju kuil. Dengan kasar mereka menyerbu Guru yang sedang berdoa. Mereka menghajarnya karena kemunafikannya dan menuntut bahwa ia sebagai bapak anak itu wajib menanggung biaya untuk membesarkannya. Jawaban Guru itu hanyalah, ‘Baiklah, baiklah.’

Setelah orang banyak pergi meninggalkannya, ia memungut bayi itu dari lantai. Ia minta supaya seorang ibu dari desa memberi anak itu makan dan pakaian serta merawatnya atas tanggungannya.

Guru itu jatuh namanya. Tidak ada lagi orang yang datang untuk meminta wejangannya.

Ketika peristiwa itu sudah berlalu satu tahun lamanya, gadis yang melahirkan anak itu tidak kuat menyimpan rahasianya lebih lama lagi. Akhirnya ia mengaku, bahwa ia telah berdusta.

Ayah anak itu sebetulnya adalah pemuda di sebelah rumahnya. Orangtua si gadis dan para penduduk kampung amat menyesal.

Mereka bersembah sujud di kaki Guru untuk mohon maaf dan meminta kembali anak tadi. Guru mengembalikannya dan yang dikatakannya hanyalah: ‘Baiklah. Baiklah!’

Orang yang sungguh-sungguh sadar!

Apa yang terjadi pada de Mello, pernah juga terjadi pada saya. Hal itu ketika saya mengkritisi soal polemik pendirian patung Kwan Kong di kelenteng Tuban.

Padahal maksud saya sama seperti yang dimaksudkan oleh Guru Besar (Shang Ren) dari Buddha Tzu Chi itu dimana ia tidak mau mendirikan rumah ibadah dalam gerakan spiritualitasnya.

Membangun rumah ibadah, kata Shang Ren, hanya akan membuat hati tidak damai. Karena memikirkan persaingan. Akan ada adu. Besar-besaran. Megah-megahan. Indah-indahan. Akhirnya terjebak dengan melupakan realitas orang miskin yang membutuhkan bantuan kemanusiaan di sekitarnya.

Apalagi mendirikan patung-patung besar yang banyak memakan biaya yang padahal daripada ‘mubazir’ lebih baik biayanya digunakan yang lebih bermanfaat bagi kemanusiaan.

Seperti kata pepatah Tionghoa: “Gunung tak perlu tinggi, yang penting ada Shenming nya pasti terkenal. Sungai tak perlu dalam, yg penting ada naganya, pasti sakral”

Kelenteng tak perlu besar (patung raksasa), yang penting ada Tuhannya pasti akan lestari. agama tak perlu ada ganjaran, yg penting ada kebajikan pasti akan tersebar luas.

“Yang di inginkan para orang suci (Shenming) adalah setiap orang mencapai kesadaran tertinggi untuk mencapai kesempurnaan maka yang terpenting adalah pembinaan diri kedalam pembinaan keluar.

Di luar itu, masalah patung adalah ekspressi pengagungan saja, yang dapat menambah kepuasan batin secara duniawi saja.

Besar kecilnya patung tidak mengurangi yang pangkal atau utama yaitu hubungan dengan Tuhan dan para suci.

Dan pembinaan diri (mengagungkan memuliakan hiperdulia) para suci adalah untuk mengikuti dan meneladani jejak dan semangat  para suci. Bukan dengan meyembahnya tapi MEMULIAKAN dan MENELADANI SIKAP dan PRILAKU. Bukan meminta doa. Meminta doa hanya kepada Tian Shang Di (Tuhan YME). Mencintai negara. Di mana bumi dipijak di situ langit di junjung. Ini adalah salah satu inti dari ajaran Khonghucu

Yah tapi memang hidup ini Yin dan Yang, semua orang sepakat untuk tidak bersepakat. Yang penting ialah mau mengakui kebenaran yang ada dipihak lain juga. Yang repot kita merasa cuma kita saja seorang yang paling benar, kita merasa menjadi pemilik kebenaran.

Padahal yang paling sulit ialah mengalahkan diri sendiri, bagaimana kita bisa menaklukan ‘dunia’ sementara diri kita sendiri belum dapat kita taklukan.

Seperti kata Confucius, “Yang disukai oleh banyak orang haruslah diperiksa, yang dibenci oleh banyak orangpun wajib diperiksa”. Maka seorang berbudi ia selalu menuntut dan membina dirinya sendiri untuk dapat berguna bagi orang lain dan kemanusiaan.

Dalam tradisi Khonghucu proyek menjadi manusia berbudi luhur ialah dengan senantiasa membina diri, berbakti kepada orang tua, rukun antara saudara dan tetangga, dapat dipercaya di antara kawan, bersikap susila melaksanakan tugas, mencintai dan setia kepada negara, memuliakan para suci dan bijaksana, menghormati Langit dan Bumi.(*)

Sumber: https://rmol.id/read/2019/07/04/394898/baiklah-baiklah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *