Oleh: Kukuh Yudha Karnanta
Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya
KETIKA Presiden Jokowi menyebut hidup berdamai dengan korona pasca pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah, yang lantas diikuti tagar Indonesia Terserah, hal tersebut sesungguhnya bisa diprediksi sejak awal.
Dalam buku Pandemic! Covid-19 Shakes the World (2020), filsuf Slavoj Zizek sudah meramalkan bagaimanakah tahapan reaksi publik dunia terhadap virulensi korona yang menjangkiti seluruh sendi kehidupan. Lima tahap itu adalah penyangkalan (denial), virusnya tidak seberbahaya itu, yang terjadi hanyalah efek dari dramatisasi media; kemarahan (anger), ternyata virus tersebut begitu dekat dan negara telah lalai mempersiapkan diri; ”tawar-menawar” (bargaining), virus itu telanjur merebak tapi kita bisa memperlambat persebarannya; depresi (depression), mulai putus asa dalam malapetaka; dan penerimaan (acceptance), ketika publik mau tak mau menerima kenyataan pandemi sebagai keniscayaan fase hidup ”baru” yang kini populer disebut kenormalan baru.
Jika dicermati, seperti diuraikan Zizek dengan nada retorik, tahap penerimaan itu sesungguhnya bukanlah akhir, melainkan awal dari berbagai fenomena masalah yang potensial muncul. Kenormalan baru sebagai suatu penanda tahap penerimaan memang menjadi jargon populer, tapi tak akan cukup bermakna bila tidak diiringi dengan pemahaman secara kultural. Asumsi dasarnya jelas: Mengubah praktik dan pola hidup suatu peradaban tidak pernah bisa mudah dan lekas dilakukan. Butuh serangkaian pemetaan, prediksi, dan strategi yang jitu demi menjalani ”kenormalan baru”.
Perang Diskursus
Hal pertama dan paling mengemuka adalah semakin kuatnya diskursus medis: seperangkat pengetahuan yang direproduksi, ditransmisikan, dan dilegitimasi oleh dunia akademik serta politik sehingga bersifat otoritatif dan regulatif. Diskursus medis menjadi satu-satunya dasar seseorang divonis positif, negatif, positif tanpa gejala, berikut segala implikasi yang ditimbulkannya. Yang sudah nyata adalah istilah social distancing dan physical distancing. Bisa diprediksi, diskursus medis semakin deras merembesi nyaris seluruh lini kehidupan manusia. Setiap individu akan semakin ”mendisiplinkan” tubuhnya: memakai masker pelindung, kacamata, bahkan membiasakan diri tidak sering menyentuh wajah sendiri. Pada tataran komunal, siapa pun kini lebih waspada untuk berkumpul bersama bahkan untuk sekadar berjabat tangan. Bagi masyarakat Indonesia yang lekat dengan budaya komunal di mana berkumpul, bersalaman, dan berinteraksi bersama adalah praktik hidup sehari-hari, atas nama diskursus medis, kini mesti meredefinisi nilai-nilai guyub dan srawung tersebut.
Menariknya, dalam konteks Indonesia, diskursus medis tersebut ternyata belumlah hegemonik, setidaknya untuk saat ini. Pada ranah politik, kebijakan-kebijakan pemerintah terkesan inkonsisten dan setengah hati. Di satu sisi, PSBB diberlakukan di berbagai daerah, tapi longgar dalam pengawasannya. Mal dibuka, terminal dan bandara beroperasi, serta beragam fenomena lain yang kontradiktif terhadap PSBB. Diskursus medis harus ”bertarung” dengan diskursus ekonomi yang bernada dasar pertumbuhan ekonomi sama pentingnya dengan nyawa manusia: Industri harus berjalan, pemodal butuh laba, pekerja butuh nafkah, dan negara yang sehat adalah negara yang sejahtera. Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi bisa dibaca sebagai kompromi terhadap kontestasi dua diskursus itu.
Di saat yang sama, kita bisa melihat reaksi publik yang masih tertatih mengeja kenormalan baru sebagai suatu fase dan laku hidup teranyar yang harus diakrabi. Dalam ranah pendidikan, misalnya, gegar pembelajaran daring dari civitas akademik berjalan seiring dengan kecemasan terhadap rencana pembelajaran luring di sekolah. Stigmatisasi dan diskriminasi kepada tenaga medis serta pasien yang terinfeksi Covid-19 masih terjadi di beberapa daerah. Bisa diprediksi situasi kenormalan baru di Indonesia di hari-hari ke depan masih dipenuhi ketidakpastian sebagai konsekuensi kurang rapinya pemerintah dalam mengelola isu dan kontestasi diskursus itu. Sementara di saat yang sama, grafik dan virulensi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda menurun. Data itu belum ditambah dengan mobilitas massa di momen Lebaran yang baru bisa diketahui beberapa hari mendatang.
Transformasi Budaya
Fase kenormalan baru sebagai tahap penerimaan di situasi pandemi membutuhkan pemahaman yang kompleks karena menyangkut perubahan ide, praktik/perilaku, dan produk-produk kebudayaan yang menghidupi dan dihidupi manusia. Betapa pun keras upaya para tenaga medis dan berjilid-jilid regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah, selama kesadaran dan perilaku masyarakat masih jauh dari standar protokol kesehatan, tentu akan sia-sia. Ada beberapa hal yang barangkali bisa dilakukan. Pertama, memasukkan diskursus sosial-budaya dalam menyusun setiap kebijakan strategis di masa kenormalan baru. Setiap subkultur memiliki karakteristik cara berpikir dan kebiasaan yang berbeda-beda. Karena itu, diperlukan adanya sensitivitas kultural terhadap sosialisasi setiap kebijakan yang dibuat.
Kedua, sensitivitas kultural tersebut mustahil tergapai tanpa penguatan riset-riset terapan yang bersifat multidisiplin yang mengarah pada mitigasi bencana berbasis transformasi sosial-budaya. Hal itu sesungguhnya sudah masuk Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) 2020-2024. Momen kenormalan baru bisa menjadi momentum penguatan sinergi lintas disiplin yang bersifat praksis dan berorientasi pada dampak sosiokultural.
Ketiga, strategi habituasi secara persuasif dengan melibatkan seluruh agen dalam struktur sosial seperti tokoh masyarakat, ulama, media massa, dan sekolah. Habituasi lebih dari sekadar pembiasaan, melainkan mekanisme penyesuaian kesadaran yang senantiasa berada dalam situasi ulang-alik antara individu dan kolektif. Misalnya, sementara media massa membentuk opini yang konstruktif, sekolah membantu menginternalisasi nilai-nilai kenormalan baru secara edukatif. Ulama dan tokoh layak dilibatkan karena, diakui atau tidak, budaya kita masih cenderung butuh sosok yang dianggap teladan bagi mereka.(*)
(Sumber: https://www.jawapos.com/opini/29/05/2020/budaya-dan-diskursus-kenormalan-baru/)