Oleh: Umbu T.W. Pariangu
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
DEWAN Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kehadirannya sempat ditentang sudah diinaugurasi (20/12).
Entah bagaimana mendefinisikan arah pemberantasan korupsi ke depan dengan kehadiran nama-nama mentereng di biduk dewas tersebut. Yang jelas, kekhawatiran masyarakat soal taji KPK yang berpotensi menumpul ketika sejumlah kewenangannya diamputasi dalam revisi UU KPK lalu tidak mungkin meredup begitu saja tanpa ada sikap presisi dan tegas dari pemerintah.
Apalagi, keberadaan dewas tersebut jauh-jauh hari lebih dahulu diliputi banyak pesimisme. Terutama soal seberapa jauh independensi sikap mereka dalam menghadapi godaan pragmatisme kekuasaan. Kita belum mendengar adanya pagar etika yang bisa memagari mereka secara serius dari perilaku offside-nya, yang justru berpotensi menjadi tombak bermata dua bagi tujuan pembentukan dewas tersebut.
Misalnya, di satu sisi, dewas mungkin bisa menjadi obat mujarab bagi pemerintah untuk meredakan amarah publik terhadap perlakuan elite yang terkesan merasa terganggu oleh agresivitas KPK melakukan operasi tangkap tangan. Tetapi, di sisi lain, dewas justru sebaliknya, bisa menjadi ’’dewa’’ yang menjustifikasi lahirnya sikap kompromistis terselubung terhadap korupsi. Itu berpeluang terjadi karena dewas sejatinya bagaikan benih yang tidak dikehendaki keberadaannya oleh pemilik rahim antikorupsi, yakni rakyat itu sendiri.
Fase Kritis
Kini, tanpa disadari, kita sedang memasuki fase kritis dari korupsi yang selama ini kita kompromikan karena flegmatisme kita dalam melawan konspirasi frontal kekuatan oligarkis (Paitinggi, Jurdi, Amaliyah dalam Korupsi Kekuasaan: Dilema Penegakan Hukum di Atas Hegemoni Oligarki, 2016).
Fase itu adalah ketika merebaknya ketidakpercayaan publik (sebagai modal sosial) terhadap negara dalam melawan korupsi, seperti yang ditunjukkan oleh gelombang demonstrasi mahasiswa terhadap revisi UU KPK yang sampai memakan korban nyawa.
Setidaknya, kepercayaan publik yang rendah dalam konteks pemberantasan korupsi menunjukkan bahwa: (1) daya tahan aktor-aktor elite negara (state actors) dalam mengeliminasi segala kekuatan korupsi di tiap lini masyarakat dan negara semakin lemah. (2) Kekompakan masyarakat kritis dalam menyikapi perilaku korupsi sudah terbelah sehingga sumbu utama resistansi terhadap korupsi telah gagal meledakkan energi besar untuk mengepung segala kebijakan yang memberikan ruang terhadap masivitas korupsi di republik ini.
Defisit kepercayaan selalu diikuti friksi sosial yang melunturkan etos kebangsaan berupa keadilan, kesetaraan, termasuk nilai-nilai humanistik dalam menikmati hasil-hasil pembangunan. Sebagai contoh, Credit Suisse Research Institute pernah melaporkan bahwa kekayaan bangsa Indonesia meningkat drastis mulai Januari 2010 hingga Juni 2011. Dalam kurun waktu 1,5 tahun, kenaikan kekayaan orang Indonesia mencapai USD 420 miliar atau sekitar Rp 3.738 triliun. Itu membuat total kekayaan orang Indonesia pada pertengahan 2011 mencapai USD 1,8 triliun atau sekitar Rp 16 ribu triliun.
Prestasi tersebut membuat Indonesia menempati posisi ke-3 di kawasan Asia dan posisi ke-14 di dunia sebagai negara kontributor tertinggi bagi pertumbuhan kekayaan global. Ironisnya, gemerlapnya prestasi tersebut justru berbanding terbalik dengan kondisi sosial ekonomi rakyat yang ditunjukkan oleh masih tingginya tingkat ketimpangan kemiskinan antara Jawa dan luar Jawa (Hayat, 2018: 305).
Kita tentu masih berharap, sambil dewas bekerja untuk membuktikan integritas dan konsistensi mereka, Presiden Joko Widodo bersama tim ahlinya mempertimbangkan penerbitan perppu untuk menunda berlakunya UU KPK. Temuan 26 poin dalam UU KPK yang berpotensi melemahkan KPK tentu harus menjadi beban kritis pemerintah untuk menjaga dan menyelamatkan muruah KPK.
Kita tahu, presiden sedang berjuang melawan kekuatan oligarki-korup yang menggurita di dekatnya. Namun, percayalah, barisan nurani dan akal sehat rakyat tidak akan membiarkan presiden seorang diri berkelahi dengan antek-antek korup itu.(*)
Sumber: https://www.jawapos.com/opini/23/12/2019/dewas-kpk-dan-nasib-eliminasi-korupsi/