Kolom

Ibu Kota Baru, Aman atau Rentan?

×

Ibu Kota Baru, Aman atau Rentan?

Sebarkan artikel ini
Desain inti dari pusat pemerintahan Indonesia di Kalimantan akan dibangun melalui konsep yang menghimpun keberagaman sesuai Bhineka Tunggal Ika. (Gambar: dok. Kementerian PUPR)

OLeh: Khairul Fahmi
Direktur Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) | Opini

 

SAYA dicolek untuk mengomentari sebuah gambar peta yang menunjukkan titik koordinat Ibu Kota Republik Rakyat Tiongkok dan calon Ibu Kota baru Indonesia. Sesungguhnya itu bukan isu yang bermutu. Karena dari sisi pertahanan keamanan, tak ada lagi ruang yang benar-benar ideal di bumi manusia ini.

Bicara soal perang, bentuknya sudah beragam. Ada perang konvensional, perang proksi, perang asimetris, hingga perang hibrida.

Ancaman bisa datang dari mana saja. Yang bersifat militer bisa hadir di darat, laut, maupun udara. Yang nirmiliter, bahkan lebih mengancam kedaulatan politik, ekonomi, hukum maupun sosial budaya. Belum lagi yang terkait keamanan dan kedaulatan siber. Dari dalam maupun luar negeri.

Bisa dipastikan sekarang ini, berada di liang semutpun takkan mampu membuat kita benar-benar terlindung. Apa boleh buat, teknologi sudah menyediakan segalanya bagi para penggemar perang.

Jadi, peta bergaris itu sesungguhnya menunjukkan kedangkalan pemahaman soal lingkungan strategis dan perkembangan ancaman, hambatan, tantangan, dan gangguan terhadap negeri ini.

Perang

Carl von Clausewitz bilang, perang adalah kelanjutan dari politik dengan cara lain. Dia adalah politik yang berdarah-darah dan paling sulit diprediksi. “Qui desiderat pacem, bellum praeparat (siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang),” kata Flavius Vegetius Renatus, seorang ahli strategi militer Romawi.

Militer modern banyak terinspirasi oleh pemikiran Clausewitz dan adagium Romawi itu. Maka kemudian perang, sistem pertahanan, dan perlindungan keamanan bergerak dari yang awalnya bersifat alamiah/naluriah menjadi sistemik, terkelola, dengan beragam infrastruktur, instrumen dan teknologi artifisial.

Tapi Clausewitz juga bilang, perang sebagai alternatif politik adalah gagasan klasik, sangat berisiko dan tidak pasti instrumennya. Lantas untuk apa kita menyiapkan segala infrastruktur perang itu?

Coba tanya Singapura, negara pulau kecil dengan belanja pertahanan terbesar di Asia Tenggara. Jawabannya enggak jauh-jauh, ya supaya tak perang. Supaya negaranya tak diganggu dan potensi ancaman tak berkembang menjadi faktual.

Sekarang kita kembali ke soal kerentanan calon Ibu Kota baru. Seperti saya bilang tadi, tak ada kawasan yang benar-benar aman hari ini. Maka konsekuensi dari pemindahan Ibu Kota di sektor hankam adalah menyiapkan sebaik-baiknya, sistem pertahanan keamanan yang pada saatnya nanti mampu melindungi Ibu Kota baru.

Perumusan rencana strategi dan pembangunan sistem pertahanan Ibu Kota baru mestinya juga merupakan diskusi yang melibatkan para analis dan peramal yang detail, cermat, dan visioner dari berbagai sektor. Mulai dari analis militer hingga ahli anggaran. Karena ini bukan soal ancaman saja, tapi juga soal kemampuan pembiayaan.

Jadi, kita hendak khawatir, janganlah soal peta vertikal itu. Khawatirlah soal kemampuan menghadirkan sistem pertahanan yang memadai pada waktunya. Karena kemampuan anggaran kita tak cukup meyakinkan untuk menyiapkan yang ideal.

Tapi sebenarnya itu bisa disiasati dan lebih murah. Caranya? Mengubah pola pikir terhadap konflik dan ancaman itu menjadi kolaborasi dan peluang. Tak hanya dalam urusan antarbangsa, tapi terutama malah dalam urusan domestik.

Perjalanan masih panjang, masih banyak detail yang perlu dicermati lebih dari sekadar peta zaman dulu (zadul) itu. Kita kan baru membincangkan aspek hankamnya. Belum soal lingkungan, agraria, sosial budaya dan sebagainya.(*)

Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/255984-ibu-kota-baru-aman-atau-rentan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *