Kolom

Legislator

×

Legislator

Sebarkan artikel ini

Oleh: Karim Suryadi
Peneliti Komunikasi Politik, Dosen FPIPS UPI

 

SEKITAR pertengahan Agustus 2019, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terpilih akan dilantik. Momen itu melambungkan harapan calon legislatif yang lolos, sekaligus mengubur impian mereka yang gagal meraih kursi parlemen.

Jalan menuju gedung parlemen kian terjal. Persaingan antarcalon (baik internal partai, maupun antarcalon dari partai politik yang berbeda) makin keras.

Daerah pemilihan (dapil) menjadi ajang pembantaian calon legislatif (caleg). Caleg makan caleg terjadi di banyak dapil. Sungguh hanya “makhluk tertentu” yang bisa memenangkan kontestasi yang brutal semacam itu. Kita ucapkan selamat untuk mereka.

Energi para caleg terkuras habis untuk memenangkan pertarungan di dapil. Konsentrasi mereka fokus pada penguatan faktor-faktor seleksi (keterpilihan), bukan pada aspek substansi. Tak heran, keterpilihan mereka masih menyisakan “lubang kognisi” yang tidak bagus bagi penunaian tugas mereka sebagai legislator.

Dalam konteks ini, apa yang dilakukan beberapa pengurus partai (seperti DPC Partai Golkar Indramayu, atau DPW PKB Jawa Barat) menggelar “sekolah legislatif” patut diacungi jempol. Forum semacam ini lebih dari sekedar masa orientasi bagi anggota legislatif baru, namun penguatan komitmen terhadap nilai-nilai yang melandasi perjuangan partai.

Pengisian anggota legislatif  tak ubahnya transfusi darah bagi tubuh. Bukan soal darahnya, tetapi zat-zat yang terkandung di dalamnya. Proses ini tidak sekedar menjalankan mekanisme lima tahunan, namun penting untuk menjawab dinamika perubahan masyarakat.

Menjadi legislator di era keterbukaan, dimana segala sesuatu mudah didapat, gampang-gampang susah. Gampang karena semua faktor yang memungkinkan (enabler), seperti teknologi informasi dan komunikasi mudah diakses dan iklim komunikasi pun makin terbuka.

Akan tetapi di balik kemudahannya, kemajuan informasi, teknologi, dan keterbukaan komunikasi melahirkan tantangan, yang jika gagal direspon dapat mengikis legitimasi anggota legislatif dan DPRD itu sendiri. Tantangan dimaksud lahir akibat “dahaga komunikasi” dan kemandirian dalam mencari sumber-sumber yang dapat memuaskannya. Warga yang tumbuh dalam kultur internet of things, yang dibesarkan dalam tradisi “jika ingin melakukannya dengan benar, lakukan sendiri”, akan bersikap skeptis terhadap otoritas politik.

Ketika mendapati realitas yang harus direspon, alih-alih mengadukannya ke dewan, mereka akan membuat petisi daring. Meski tidak sedikit anggota legislatif yang sudah berusaha bersahabat dengan massa dan tampil up to date, faktanya kehadiran mereka belum menurunkan kepercayaan publik kepada Google dan jejaring pribadi lalu beralih kepada lembaga demokrasi konvensional tersebut.

Keterpercayaan warga terhadap agen-agen di luar lembaga politik formal kian kuat. Baru-baru ini Nielsen merilis hasil surveinya. Tidak mengejutkan, jika 83% Gen Z paling percaya rekomendasi teman sebaya, 66% memercayai opini pelanggan yang diunggah secara daring; dan 66% memercayai isi editorial (artikel dan surat kabar).

Kecenderungan melakukan sesuatu sendiri (do it yourself) menghancurkan peran para perantara. Lebih dari itu, kebiasaan ini meruntuhkan peran ahli. Semua merasa bisa dan dapat melakukannya sendiri.

Jika bukan memperantarai publik dan pemerintah apa fungsi dewan? Mewadahi aspirasi publik dan beradaptasi dengan perubahan pola komunikasi dan bentuk-bentuk partisipasi publik menjadi tantangan utama anggota dewan.

Di sisi lain, hampir tidak ada urusan yang dapat disembunyikan dari tatapan publik. Terbukanya sebuah urusan, seharusnya mempersempit ruang penyimpangan. Namun faktanya, pejabat di daerah yang terjerat operasi KPK tidak juga berkurang. Lalu, bagaimana efektivitas fungsi pengawasan yang dilakukan dewan?

Mempertajam mata pengawasan menjadi tantangan kedua. Kecerdasan informasi dalam memilah pesan, menelusuri jejak kasus, dan membongkar bias-bias pesan yang menipu akan menjadi panasea bagi penguatan fungsi pengawasan dewan di tengah kekacauan informasi yang kerap menghadang.

Paparan informasi tentang apa pun yang dialami publik membuat gaya dan penampilan warga makin seragam. Keseragaman ini pula tampak dari prioritas program yang diajukan pemerintah.

Celakanya, sebagian pejabat pemerintah terjebak pada perangkap instrumental. Memajukan sebuah program sekedar untuk memenuhi “dahaga visual”, yang hadir sekedar untuk menjadi pesan yang viral dan di-“like”banyak orang,  namun tidak bersentuhan dengan agenda dan kepentingan publik.

Betapa sering isu pendidikan diangkat, tapi mengapa bangunan sekolah dasar yang ambruk kerap terjadi? Mengapa rekayasa jalan di Kota Bandung dan Cimahi sering dilakukan namun kemacetan lalu lintas tidak juga berkurang? Mengapa setiap daerah berlomba memacu wisata lokal padahal tidak semua daerah memiliki potensi wisata yang memadai?

Alih-alih berkutat dalam kubangan yang sempit, mengapa tidak membuka ruang yang baru? Ruang baru tersebut adalah identitas yang dibangun dari nilai unik yang dimiliki daerah dan masyarakat yang menghuninya. Inilah pekerjaan rumah anggota dewan berikutnya, mendorong pemerintah daerah menoleh ke dalam dan menemukan nilai unik masyarakatnya dan menjadi kekuatan mereka.

Lebih dari sekedar sirkulasi politik lima tahunan, pelantikan anggota dewan hasil pemilu adalah mekanisme untuk memperbaharui performa mesin politik. Tiga pertanyaan berikut berguna untuk membersihkan “spare part” terpasang dari kotoran yang membebani kerja mesin: Siapa saya? Apa yang saya cari? Apa hal baru yang saya bawa ke gedung parlemen?(*)

Sumber: https://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2019/08/05/legislator

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *