Oleh: Siti Rahayu Nadhiroh
Staf pengajar di Departemen Gizi FKM Universitas Airlangga
PANDEMI Covid-19 yang telah berlangsung selama hampir setahun di Indonesia membawa dampak pada semua aspek kehidupan. Tak terkecuali terhadap profil gizi penduduk Indonesia. Karena itu, dalam rangka memperingati Hari Gizi Nasional yang diperingati, Senin (25/1), menarik untuk kita cermati, seperti apakah profil gizi masyarakat Indonesia akibat pandemi Covid-19. Apakah akan terjadi lonjakan stunting pada balita? Atau kenaikan obesitas pada orang dewasa? Ataukah keduanya meningkat secara bersamaan?
Stunting adalah kondisi di mana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur, sesuai standar yang ditetapkan WHO. Banyak faktor yang memengaruhinya. Seperti kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, menderita penyakit infeksi yang berulang, hygiene dan sanitasi buruk, kondisi sosial ekonomi dan pendidikan yang rendah, dan lainnya.
Unicef, badan internasional PBB untuk dana kemanusiaan anak, telah memperingatkan Indonesia akan terjadinya kenaikan tajam angka kurang gizi pada balita akibat pandemi Covid-19. Hal ini disebabkan beban berlebih dari fasilitas kesehatan, terganggunya rantai pasokan pangan, dan banyaknya penduduk yang kehilangan pendapatan selama pandemi berlangsung.
Sesungguhnya, sebelum pandemi pun, Indonesia telah dihadapkan pada permasalahan stunting dan termasuk lima besar negara dengan kasus balita stunting terbesar di dunia. Sejak 2007, menurut hasil riset kesehatan dasar (riskesdas), prevalensi balita stunting mencapai 36,8 persen dan meningkat menjadi 37,2 persen pada 2013. Harapan baru muncul saat prevalensi stunting berhasil diturunkan pada 2018 menjadi 30,8 persen. Meski masih terkategori ’’high” menurut klasifikasi WHO, penurunan tersebut menandakan intervensi yang dijalankan pemerintah Jokowi mulai menunjukkan hasil.
Stunting menjadi isu sentral karena, seperti kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, merupakan refleksi dari masa depan bangsa Indonesia. Anak stunting tak hanya mengalami keterlambatan pertumbuhan, tetapi juga perkembangan otaknya. Anak juga rentan menderita penyakit dan ketika dewasa berisiko mengidap penyakit seperti jantung dan diabetes melitus. Seperti diketahui, penyakit jantung dan diabetes merupakan dua dari tiga besar penyebab utama kematian di Indonesia. Bisa dibayangkan, bila saat ini banyak anak Indonesia yang menderita stunting, akan sulit bersaing dengan bangsa lain dalam menghadapi era global.
Februari tahun lalu, sebulan sebelum diumumkannya pasien pertama Covid-19, pemerintah mencanangkan target untuk menurunkan angka stunting hingga 14 persen pada akhir 2024. Bila tercapai, Indonesia akan selevel dengan Thailand dan Malaysia yang stunting-nya hanya belasan persen sejak beberapa tahun lampau. Namun, target tersebut akan sulit tercapai di tengah pandemi Covid-19, kecuali ada tindakan cepat untuk mengantisipasinya.
Di sisi lain, pembatasan aktivitas di luar rumah, sekolah daring, work from home, istilah familier selama pandemi berlangsung, mengubah perilaku sebagian masyarakat menjadi berkurang dalam beraktivitas fisik. Hal ini tecermin pada beberapa studi yang dilakukan di berbagai negara dan berbagai kelompok usia. Studi itu menunjukkan adanya penurunan aktivitas fisik dan peningkatan perilaku kurang gerak, dengan tingkat penurunan/peningkatan yang bervariasi.
Hal ini ditambah lagi dengan perubahan pola makan, di mana studi-studi terbaru juga menunjukkan tren peningkatan konsumsi makanan dan penjualan snack tidak sehat dan marketing digital makanan rendah nutrisi. Kondisi ini tentu membawa risiko terjadinya peningkatan berat badan dan berujung pada obesitas.
Overweight dan obesitas didefinisikan WHO sebagai penumpukan lemak yang berlebih atau abnormal yang dapat mengganggu kesehatan. Di tingkat global, overweight dan atau obesitas berkontribusi pada 4 juta kematian setiap tahunnya. Di Indonesia, 35,4 persen orang dewasa mengalami overweight dan obesitas berdasar riskesdas 2018, meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan 2007. Obesitas merupakan faktor risiko utama terjadinya penyakit kardiovaskuler (terutama penyakit jantung dan stroke), diabetes, osteoarthritis, dan kanker.
Lebih jauh, sesuai yang dilansir CDC, obesitas meningkatkan risiko kondisi yang parah pada Covid-19. Orang yang obesitas bisa tiga kali lipat berisiko menjalani perawatan terkait infeksi Covid-19. Obesitas berhubungan pula dengan gangguan fungsi imun, menurunkan kapasitas paru, dan meningkatkan risiko kematian akibat Covid-19.
Akankah stunting dan obesitas semakin memperkeruh wajah Indonesia akibat pandemi? Tentu kita berharap tidak demikian. Ada tiga prioritas aksi untuk mengantisipasinya, yaitu terkait sistem pangan, sistem kesehatan, dan sistem bantuan sosial.
Pada sistem pangan, kemudahan akses memperoleh makanan yang aman dan bergizi adalah keniscayaan terutama untuk balita, ibu hamil, dan menyusui. Dalam hal ini, dapat dilakukan dengan menjamin ketersediaan pangan yang aman dan bergizi, dan memelihara produksi pangan lokal yang kaya akan gizi. Adanya lumbung pangan Jatim yang sempat digagas Pemprov Jatim, dan juga beberapa situs penjualan bahan pangan online yang menghubungkan antara konsumen dengan para petani, merupakan program pangan solutif di era pandemi.
Pada sistem kesehatan, mempromosikan dan melindungi praktik pemberian ASI eksklusif, makanan pendamping ASI, suplementasi vitamin A, manajemen balita kurang gizi, serta konseling dan suplementasi ibu hamil dan menyusui merupakan program esensial yang tak boleh ditiadakan. Terkait obesitas, kampanye peningkatan aktivitas fisik dan edukasi tentang manfaatnya perlu disosialisasikan dan digaungkan melalui berbagai media.
Pada sistem bantuan sosial, e-voucher pangan dapat menjadi alternatif agar bantuan benar-benar untuk kebutuhan pangan keluarga, terutama balita dan ibu hamil/menyusui, bukan untuk membeli rokok atau kebutuhan nonpangan lainnya. Bansos tunai dan transfer oleh menteri sosial baru-baru ini dapat pula menjadi solusi untuk menjangkau langsung rakyat yang membutuhkan.(*)
(Sumber: https://www.jawapos.com/opini/26/01/2021/menerka-wajah-gizi-indonesia-akibat-pandemi-covid-19/)