Oleh: Fahrul Muzaqqi
Dosen di Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga Surabaya
WACANA perpanjangan masa jabatan presiden (presidential term) mencuat seiring dengan perdebatan seputar amandemen kelima UUD 1945. Sebagian merespons positif. Bahwa penambahan tersebut, baik masa jabatan presiden menjadi 7 tahun atau 8 tahun maupun tiga kali periode jabatan, tidak menjadi masalah selama melalui prosedur demokratis meliputi rapat paripurna di DPR/MPR maupun diskursus partisipatif masyarakat luas. Namun sebaliknya, sebagian yang lain berwasangka bahwa isu tersebut berpotensi mengarah ke degradasi demokrasi, bahkan otoritarianisasi.
Wacana itu pernah mengemuka era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2010. Namun, hal itu kandas tak berlanjut. Di sisi lain, kontroversi wacana tersebut tidak dapat semata dipandang suka atau tidak suka terhadap rezim pemerintahan sekarang. Melainkan lebih jauh, yakni implikasi jangka panjang bagi bangunan kelembagaan maupun fatsun demokrasi kita.
Argumen Empiris
Secara empiris, memang ada negara yang memberlakukan periode masa jabatan presiden sebanyak tiga kali. Namun, hanya dua negara, yaitu Vietnam (3 periode, 5 tahunan) dan Kiribati (3 periode, 4 tahunan). Negara-negara dengan periode jabatan tujuh tahun sebanyak 11 negara, baik yang hanya sekali, dua kali, maupun tidak terbatas periode jabatan. Sementara itu, sebagian besar negara memberlakukannya maksimal dua periode, baik 4 tahunan maupun 5 tahunan (list of political term limits, wikipedia). Namun, tidak ada satu pun negara yang memberlakukan masa jabatan presiden 8 tahun dalam sekali periode.
Apabila dikaitkan dengan kualitas pelembagaan demokrasi, Vietnam dan Kiribati –kalaupun dijadikan sebagai pembanding atau acuan– ternyata masih dalam peringkat bawah. Vietnam bahkan masuk kategori otoritarian dalam Indeks Demokrasi Dunia versi The Economist Intelligence Unit (IEU) 2018 dengan menempati peringkat ke-139. Sementara itu, Kiribati malah tidak tercakup dalam pengindeksan tersebut. Indonesia justru berada di peringkat ke-65 di antara 167 negara dan terkategori dalam demokrasi belum penuh (flawed democracy). Indeks demokrasi tersebut mengukur lima kategori besar, yaitu proses pemilu dan pluralisme, kebebasan sipil, fungsi-fungsi pemerintahan, partisipasi politik, dan budaya politik.
Lebih lanjut, referensi empiris lainnya dari Freedom House yang merilis Indeks Kebebasan Dunia setiap tahun. Dua indikator besar yang diukur adalah hak-hak politik dan kebebasan sipil dengan status bebas, sebagian bebas, dan tidak bebas. Hasilnya, Indonesia memiliki skor 64 dengan status sebagian bebas (partly free). Sementara itu, Kiribati mendapat skor 93 dengan status bebas (free) dan Vietnam memperoleh skor 20 dengan status tidak bebas (not free).
Secara tidak langsung, alasan empiris untuk wacana menambah periode kepemimpinan hingga tiga periode membandingkan dengan Vietnam maupun Kiribati masih belum meyakinkan. Kalaupun Kiribati dalam Indeks Kebebasan Dunia menempati peringkat di atas Indonesia, masa jabatan kepresidenannya hanya empat tahun. Sementara itu, Vietnam jelas berada di bawah Indonesia dalam hal kualitas demokrasi sehingga tidak layak dijadikan acuan.
Alasan Normatif
Pada dasarnya, pembatasan masa jabatan maupun periode jabatan presiden dilatarbelakangi beberapa alasan normatif. Pertama, meminimalkan potensi petahana untuk memanipulasi pemilu berikutnya sekaligus untuk penyeimbangan kekuatan-kekuatan politik di luar petahana. Kedua, adanya tekanan yang besar bagi pemimpin untuk memberikan legasi yang positif karena dibatasi waktu.
Ketiga, seorang pemimpin, betapapun kuat dan populernya, tidak mungkin tidak ada yang bisa menggantikan. Keempat, bahwa proses regenerasi maupun peralihan kepemimpinan politik secara teratur adalah sesuatu yang niscaya dan normal. Sekaligus proses ini dapat mendorong terciptanya ide-ide segar, inovasi-inovasi kebijakan, maupun motivasi baru. Kelima, dengan batasan masa jabatan maupun periode, proses maupun kelembagaan demokrasi menjadi tetap sehat.
Kaitannya dengan urgensi wacana tiga periode jabatan, di samping secara empiris tidak lazim, secara normatif potensial menyumbat proses sirkulasi kepemimpinan, memusatkan kekuatan dan sumber daya politik, khususnya bagi petahana yang pada gilirannya bisa menjerembapkan demokrasi dalam kubangan oligarki, bahkan otoritarianisme.
Berkaca dari sejarah para pemimpin kelas dunia, Nelson Mandela dari Afrika Selatan, misalnya. Betapapun rakyatnya menginginkannya untuk mempimpin lagi, dia tetap berkomitmen satu periode saja. Atau Presiden Barack Obama, yang di akhir-akhir masa jabatannya periode kedua publik kerap meneriakkan ’’four more years!’’ kepadanya. Namun, dia tidak menghiraukan itu.
Secara substantif, memang wacana untuk menambah masa maupun periode jabatan presiden bisa dilakukan melalui prosedur demokratis, amendemen UUD 1945 misalnya. Namun, logika tersebut justru berpotensi menabrak fatsun politik demokrasi itu sendiri. Bahwa demokrasi tiada lain adalah membatasi kekuasaan sehingga dapat tersebar (bukan memusat) dan terdistribusi secara seimbang. Baik secara vertikal, dari generasi sekarang kepada generasi mendatang, maupun horizontal, yakni di antara kekuatan-kekuatan politik yang ada.
Persoalan kekhawatiran bahwa proses pembangunan dapat mengalami keterputusan apabila presiden berganti, agaknya, berlebihan. Problem tersebut sebenarnya dapat diupayakan dengan intensitas komunikasi di antara para elite, baik di lingkungan eksekutif maupun legislatif. Sebaliknya, tidak ada jaminan pula, ketika presiden menjabat lebih lama, pembangunan akan semakin baik.(*)
Sumber: https://www.jawapos.com/opini/29/11/2019/menyoal-masa-jabatan-presiden/