Kolom

Pemersatu Bangsa

×

Pemersatu Bangsa

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi (Foto : Net)

Oleh: Karim Suryadi
Peneliti Komunikasi Politik, Dosen FPIPS UPI

 

USAI perhelatan pemilu (untuk memilih presiden dan legislatif) tema merajut kembali persaudaraan mengemuka. Seruan merajut kembali persatuan melejit menjadi trending topic pasca kerusuhan 21-22 Mei lalu di Jakarta. Seruan tadi bukan hanya disuarakan pejabat dan tokoh masyarakat, tetapi juga oleh para aktivis dan masyarakat biasa.

Kerinduan kita pada tokoh-tokoh yang menjadi faktor integrasi (persoonlijk) memuncak. Banyak tokoh yang selama ini menjadi jangkar persaudaraan antarwarga telah terkotak-kotak ke dalam dikotomi partisan.

Padahal salah satu alasan mengapa negara didirikan adalah untuk menjawab kebutuhan mempersatukan rakyatnya. Seperti yang diungkapkan Charles E. Merriam, negara didirikan di atas doktrin, atau premis yang tidak lain adalah pikiran, kemauan dan perasaan yang mampu menyatukan rakyatnya.

Pikiran menjadi sandaran filosofis agar kekuasaan negara diakui rakyat (bertransformasi dari kekuasaan menjadi kewibawaan). Karena itu, pikiran yang melatari pendirian negara dijelmakan menjadi ideologi bangsa.

Kemauan tiap orang untuk hidup bernegara dipersatukan lewat rumusan tujuan negara, dan kekuasaan penyelenggara negara diberi sandaran etis demi terwujudnya tujuan tadi. Adapun perasaan yang mengikat hubungan warga dengan negaranya dipelihara melalui kehadiran simbol-simbol negara, seperti bendera negara, lagu kebangsaan, lambang negara, dan bahasa negara.

Semua simbol negara masih terpelihara. Bendera merah putih masih berkibar, lagu kebangsaan masih dikumandangkan, lambang negara masih tergantung lengkap dengan rumusan Pancasila di dada Burung Garuda, dan meski telah bercampunr aduk dengan bahasa daerah dan asing, Bahasa Indonesia tetap dijunjung sebagai bahasa persatuan.

Satu hal yang terasa langka adalah kehadiran tokoh pemersatu (persoonlijk), layaknya Dwitunggal Soekarno-Hatta, atau seperti ketokohan Soekarno yang melambangkan kepemimpinan sipil dan Soedirman yang merepresentasikan kekuatan militer pada masa revolusi.

Ketokohan tidak identik dengan jabatan. Ketokohan pun tidak sama dengan kemelimpahruahan kekayaan. Meski penguasaan atas keduanya sering membuat pemiliknya ditokohkan, namun karakter dan peran seorang tokoh  bisa dimiliki siapa saja, yang paling besar kontribusinya bagi pencapaian tujuan bangsa dan kemanusiaan.

Di tengah iklim moral yang sudah tercemar, memang sulit mencari tokoh yang benar-benar netral. Semua sumber daya ditarik ke kancah politik. Daya gugahnya dimaksimalkan untuk menggerek dukungan. Akibatnya, ketika pemilu berakhir, para tokoh pun terperosok ke dalam jurang partisan, dan bangunan kebangsaan pun seperti kehilangan jangkarnya.

Namun kita yakin, diantara tokoh partisan masih terselip tokoh-tokoh yang berdiri di atas keyakinan nurani dan hanya menuruti panggilan bangsanya. Kemunculan mereka, yang selama ini menjauhkan diri dari ingar bingar liputan media, sangat dinantikan untuk mengayun pendulum politik dari persoalan taktik semata menuju etik.

Ada usaha mengubah lukisan wajah bangsa yang dalam satu tahun terakhir didominasi warna politik dengan potret persaudaraan yang natural. Dengan memanfaatkan momentum Ramadhan, beberapa tokoh menggelar silaturahmi sambil berbuka puasa bersama. Itu bagus.

Sayangnya suasana belum benar-benar dingin, karena berlalunya rusuh di depan Gedung Bawaslu memunculkan tudingan siapa aktor dan apa motif dibalik kerusuhan tadi. Telunjuk 01 dan 02 kembali saling tunjuk. Tak terima ditunjuk, keduanya saling memaki. Ironisnya, saling tunjuk dan maki berdalihkan demokrasi, dan mendalilkan prinsip-prinsip negara hukum.

Padahal jika benar-benar seorang demokrat dan sadar hukum, pertarungan di jalanan tak perlu terjadi. Pun saling tunjuk tak perlu diumbar di ruang publik.

Investigasi menyuluruh untuk mengungkap motif dan aktor di balik kerusuhan minggu lalu amat dibutuhkan. Investigasi bukan hanya untuk mengakhiri sikap saling tuduh dan curiga, tapi untuk menumpas persoalan dari akarnya.

Munculnya kerusuhan 21-22 Mei seperti petir di siang bolong. Dia datang seperti air bah, lalu kering dalam sekejap. Ketegangan di tiga tempat di Jakarta dapat ditonton di layar kaca, dan dengan satu gerakan memindahkan saluran teve, pemirsa bisa menemukan keriuhan suporter yang tengah menyaksikan tim kebanggaannya bertanding dalam Liga 1, atau menonton penyanyi kesayangannya yang tengah ikut audisi. Sama-sama siaran langsung. Di stadion, ak ada ketakutan, dan tidak ditemukan gurat-gurat kecemasan atas apa yang terjadi di tiga tempat di ibu kota.

Apalagi sengketa hasil pemilu telah dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Pertarungan biarlah terjadi di ruang Mahkamah, dimana data dan fakta akan menjadi pelurunya. Dalil dan alibi akan menjadi amunisi. Perkaranya kembali kepada nurani hakim, untuk memeriksa semua fakta, mempertimbangkan segala argumen, dan memutus perkara secara adil.

Kini tak ada lagi alasan untuk lempar batu di jalanan, atau bermain-main dengan bom molotov. Meski masih ada rasa kecewa yang menyumbat dada, kemauan untuk hidup tenang jauh lebih kuat dan menjadi hawa yang ingin dihirup warga.

Kita percaya kedua kubu yang bersaing dalam pilpres memiliki tujuan yang baik. Sama-sama ingin memajukan bangsa dan memberi sumbangsih terbaik. Yang berbeda hanya cara yang ditawarkan, dan untuk tujuan yang baik berbeda cara tidaklah salah.

Memang tidak mudah merajut damai jika ada pihak merasa diperlakukan tidak adil, sebab damai hanya lahir dari rahim keadilan. Kini semua gundah sudah tersalur ke mahkamah, semoga para hakim dapat memerika semua fakta dengan jujur dan memutus perkara dengan adil. Kepada para hakim konstitusi kita berharap, semoga ilmu, pengalaman, kerarifan, dan integritas mereka melahirkan putusan yang adil.(*)

Sumber: https://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2019/05/28/pemersatu-bangsa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *