Oleh: Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
KNOWLEDGE is Power! Pengetahuan itu sumber kekuasaan. Dominasi pengetahuan menciptakan kemampuan untuk dapat memengaruhi. Bahkan lebih jauh, ilmu pengetahuan menjadi sarana hegemoni, penaklukan bawah sadar, bagi kepentingan kekuasaan itu sendiri.
Dengan begitu, sesungguhnya peran perguruan tinggi menjadi strategis untuk melahirkan generasi tercerahkan. Problemnya, di era liberal, sektor pendidikan menjadi sarana dalam kepentingan kapitalistik, tidak lebih dari kalkulasi nominal.
Bila menggunakan perspektif tersebut, maka wacana dosen, rektor bahkan perguruan tinggi asing yang akan masuk ke Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Terlebih kita telah terikat dalam perjanjian perdagangan terbuka internasional alias globalisasi, dalam soal lalu lintas sektor barang dan jasa.
Apakah ini sebuah tantangan bagi pendidikan lokal? Ataukah kemudian menjadi peluang baru? Benarkah asumsi masuknya institusi pendidikan asing akan meningkatkan mutu dari kualitas pendidikan kita?
Pertanyaan dasarnya, dengan tingkat partisipasi pendidikan tinggi yang masih rendah, apakah perguruan tinggi asing mampu mendorong percepatan peningkatan tersebut? Sulit dibayangkan.
Kita urai satu per satu pertanyaan tersebut.
Pertama, kehadiran institusi, bahkan sumberdaya tenaga pendidikan asing adalah sebuah tantangan, karena akan bersaing dengan organisasi pendidikan lokal yang telah ada. Jumlahnya ribuan, sekurangnya 4.000-an, dari mulai negeri dan swasta, berbagai level, size konglomerasi hingga kampus gurem.
Kedua, mungkinkah peluang? Tentu saja, terutama bagi jenis institusi yang memiliki kemampuan guna berkolaborasi, baik soal sarana prasarana hingga modal kerja. Skemanya merentang dari mulai mengambil lisensi hingga kerjasama para pihak berbentuk joint investment. Butuh banyak kesiapan pendukung, tapi menjadi sesuai bagi kampus besar dan konglomerasi.
Ketiga, benarkah mendorong peningkatan kualitas? Sangat bergantung pada sejauh mana proses yang dilakukan. Kualitas diukur melalui output hasil, yang dikelola melalui proses pendidikan secara sistematis. Sejatinya tidak ada jaminan untuk hal tersebut.
Keempat, apakah meningkatkan angka partisipasi pendidikan tinggi? Dengan segala kelebihan yang dimiliki perguruan tinggi asing, sulit dipahami bila dikembangkan melalui skema subsidi, apalagi berbicara tentang kualitas internasional yang sudah pasti membutuhkan investasi tidak sedikit. Sehingga pendidikan tinggi yang ditawarkan nantinya, bisa jadi sangat spesifik dengan target ceruk pasar.
Meramaikan Kompetisi
Tantangan internal para penyelenggara perguruan tinggi, khususnya swasta, adalah tentang minimnya kapasitas institusi dalam pengembangan kualitas pendidikan. Pemenuhan sarana dan prasarana, jelas membutuhkan komitmen pembiayaan.
Sejatinya kehadiran pendidikan swasta adalah melengkapi jangkauan terbatas dari jumlah sarana pendidikan yang disediakan oleh pemerintah. Sayangnya, alokasi dukungan terhadap swasta juga terbilang minim, karena aturan terkait sifatnya memberi batasan dan bukan mendorong solusi perbaikan.
Lalu, rencana kedatangan kampus asing, hadir di saat kita sendiri tidak memiliki kerangka pengelolaan pendidikan tinggi secara utuh. Pertanyaan tentang grand design pendidikan tinggi lokal masih tergagap dijawab oleh pemangku kebijakan, bentuknya cair dan mengalir begitu saja.
Alasan yang ditawarkan terkait dengan rujukan pendidikan tinggi di negeri Jiran, yang membuka diri secara luas bagi kehadiran perguruan tinggi asing, tidak bisa diperlakukan setara.
Terlebih disebabkan karena di negara tetangga tersebut, telah bersiap membuka diri untuk menyambut pendidikan asing dalam rangka menjadikan destinasi edukasi bagi para pelajar di tingkat Asia Tenggara bahkan Asia, bukan tentang jumlah mahasiswa lokal, tetapi sekaligus menargetkan para peserta didik dari mancanegara.
Tanpa arah platform pendidikan tinggi yang rigid, maka kehadiran perguruan tinggi asing dapat dimengerti sebagai bentuk kompetisi bisnis semata. Bahkan juga tanpa komitmen untuk melakukan serapan sumberdaya, atas output pendidikan yang diselenggarakan.
Turunan pertanyaan kritisnya, bagaimana jika perguruan tinggi asing justru bermain pada bidang kompetensi umum yang sama dengan pemain lokal, tanpa ada perbedaan? Lalu tidak bermain di basis keilmuan yang berkategori tinggi semisal teknologi? Apalagi jika justru juga menggunakan strategi menjaring peserta didik dengan mekanisme berbiaya murah? Kita memang diasumsikan telah menjadi pangsa pasar bila demikian.
Problematika Indonesia
Rumit! Meski anggaran sektor pendidikan telah mencapai 20 persen, tetapi konsentrasinya memang masih berfokus pada pendidikan dasar menengah. Sementara itu, pendidikan tingginya masih berjibaku dengan problem kampus gurem, ijazah palsu dan kuliah abal-abal.
Pengelolaan perguruan tinggi yang telah ada, didorong untuk terciptanya survival of the fittest. Serangkaian peraturan digunakan untuk mereduksi jumlah institusi, bukan menumbuh kembangkan berbagai kampus yang telah ada.
Bila investasi sumber daya manusia dijadikan sebagai alat pembeda dalam kemampuan berdaya saing, maka pendidikan termasuk perguruan tinggi yang telah ada seharusnya dimampukan untuk bisa mencapai titik optimalisasi, bukan sekadar melakukan limitasi.
Carut marut wajah pendidikan tinggi kita harus diurai terlebih dahulu, sebelum ditambah dengan kerumitan dalam persoalan kehadiran perguruan tinggi asing.
Jadi, bukan tanpa alasan munculnya suara antiasing di pendidikan tinggi. Kita masih kerepotan membenahi struktur dan bentuk cetak biru -blueprint pendidikan tinggi kita, apalagi bila kedatangan tamu baru.
Bukan tidak mau menerima tamu, tapi tuan rumahnya masih repot menyalakan kompor di dapur!(*)
Sumber: https://rmol.id/read/2019/07/29/397414/perguruan-tinggi-asing-antara-kualitas-dan-pangsa-pasar