Oleh: Karim Suryadi
Peneliti Komunikasi Politik, Dosen FPIPS UPI
BAGAIMANA wajah demokrasi Pancasila harus dilukiskan jika logika kekuasaan dan alokasi jabatan dikavling berdasarkan silsilah dan golongan darah? Partai politik dipersonifikasi menjadi breader politik keluarga, yang melahirkan para pangeran, yang tidak memiliki deposit politik, memiliki jam terbang yang terbatas, namun segera menyandang kedudukan sebagai “putra mahkota” karena asal-usul primordial dengan sang tokoh, yang dinisbatkan sebagai ikon (pendiri, dan seolah-olah pemilik) partai.
Memang tidak haram politik demokratis dihubungkan dengan keluarga, namun sulit membayangkan demokrasi tumbuh subur di atas tradisi yang mengatur ulang alik kekuasaan (siapa yang promosi, siapa yang akan diusung sebagai kandidat, atau bahkan siapa yang akan dinobatkan sebagai “putra mahkota partai”) berdasarkan hubungan keluarga. Mekanisme ini bukan hanya membungkam demokrasi internal partai, tetapi juga menghancurkan tangga kaderisasi, mengacak-acak mekanisme promosi dan demosi, serta mencampakkan arti loyalitas, kesetiaan, dan kompetensi kader mumpuni yang berada di luar orbit politik keluarga. Lebih dari itu, berkah demokrasi yang memberi kesempatan yang sama kepada semua orang untuk memimpin pun luluh lantak dilumat titah dan restu sang tokoh yang dinisbatkan sebagai ikon pendiri partai.
Yang digugat bukan perkara kiprah sang anak, mantu, ponakan, ipar, atau bini semata. Yang dipertanyakan adalah tindakan melempar “wild card” ke dalam gelanggang permainan, sehingga mereka tidak harus bertarung bermandi peluh untuk membuka jalan politiknya, namun hanya mendompleng wibawa “ibu/bapak”, atau menunggang kereta kencana yang dihela kader dan simpatisan partai.
Sungguh sulit dilacak dari mana rujukan praktik politik seperti ini. John F. Kennedy, yang terlahir dari keluarga bangsawan, yang “hanya” berpangkat letnan, begitu memutuskan berkarier di dunia politik merengkuhnya dari bawah. Menyadari bahwa kehormatan dan kekayaan telah melingkupi keluarganya, dia menyempurnakan usahanya dengan meraih dukungan masyarakat luas, dengan mendatangi mereka lebih awal, dan pulang paling akhir. Deretan penghargaan yang diraih (mulai dari Navy and Marine Corps Medal hingga World War II Victory Medal), tidak membuat lulusan Harvard College ini melenggang mudah dalam karier politik Partai Demokrat.
Seperti politisi lain, Kennedy harus menapaki tangga kekuasaan dari bawah. Setelah menjalani dinas militer sebagai komandan Kapal Torpedo saat Perang Dunia II, Kennedy memulai karier politiknya sebagai anggota DPR selama enam tahun, kemudian tujuh tahun berikutnya menjadi Senator, sebelum maju sebagai calon Presiden Demokrat dan memenangkan pemilu presiden Negara Paman Sam tersebut.
Praktik menyulap partai politik sebagai “instrumen demokratis politik dinasti” tidak juga ditemukan rujukannya dalam sejarah raja-raja sekalipun. Ketika putra mahkota masih belia dan “hampa pengalaman”, ia tidak serta merta dinobatkan sebagai raja.
Lazimnya, seorang putra mahkota akan dibekali berbagai ilmu kanuragan, dilatih berbagai keterampilan (termasuk teknik berperang), dan dibekali ilmu ketatanegaraan, sebelum yang bersangkutan dimajukan dan diangkat sumpah sebagai raja. Brama Kumbara (serial Saur Sepuh, sandiwara radio yang ngetop pada tahun 80-an), yang di dalam tubuhnya mengalir darah raja, tetap harus menempa diri dengan berbagai ilmu dan memimpin peperangan mengusir penjajah sebelum rakyatnya menobatkan dirinya sebagai Raja Madangkara. Meksi hak menjadi raja sudah jadi garis tangannya, namun “proses menjadi” (becoming) tetap dijalani, baik melalui laku lahir maupun laku batin.
Meski sama-sama membutuhkan modal dan kepemimpinan, mendirikan partai politik tak sama dengan membentuk firma atau badan usaha. Bila kepemilikan badan usaha bisa dipindahtangankan sekehendak hati pemiliknya, tidak begitu dengan partai politik. Emang siapa pemilik partai politik?
Kepemimpinan bukan baju warisan yang disematkan berdasarkan silsilah dan pertalian keluarga. Para pangeran sebaiknya merenungi salah satu maksim yang disampaikan Niccolo Machiavelli dalam The Prince-nya (lihat Davis, The Greats on Leadership, 2016), “Mendasarkan kekuasaan pada kompetensi dan niat baik”: Lebih baik memperoleh kerajaan melalui kecerdasan dan kebajikan Anda sendiri. Membeli kesetian rakyat dengan uang atau mengancam mereka dengan hukuman hanya akan menghancurkan Anda. Rakyat akan mencurigai siapa pun yang baru, tetapi semakin Anda berkompeten dan semakin Anda bertindak demi kepentingan terbaik warga, semakin cepatlah Anda meraih kepercayaan mereka.
Jadi, laksana pisang yang matang karena dikarbit, begitulah kemunculan pemimpin yang disepuh mas warisan keluarganya. Titah dan restu penguasa partai tak menghilangkan keharusan sang pangeran menempuh proses menjadi (becoming). Tanpa pengalaman keterlibatan menangani urusan publik, yang memberinya banyak kesempatan untuk “menghirup udara politik”, sang pangeran partai tak layak menjadi pangeran republik.(*)
Sumber: https://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2019/06/11/sang-pangeran