Oleh: A Ahsin Thohari
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti
PELBAGAI kalangan mengkhawatirkan lemahnya oposisi menyusul rencana Gerindra, Demokrat, dan PAN bergabung dengan koalisi pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang memenangi Pilpres 2019.
Jika terwujud, ketiga partai politik itu akan semakin menambah tambun koalisi yang terdiri atas PDIP, Golkar, PKB, NasDem, dan PPP. Praktis, PKS menjadi satu-satunya partai politik pemilik kursi di DPR yang berperan sebagai pelintas jalan sunyi oposisi.
Kesintasan presiden
Bangunan koalisi dan oposisi dalam sistem pemerintahan presidensial acap kali tidak mudah ditebak karena terdapat dua arena palagan politik yang berstruktur paralel, yaitu eksekutif dan legislatif. Salah satu kelebihan sistem pemerintahan presidensial jika dibandingkan dengan parlementer ialah adanya pemisahan kekuasaan yang memungkinkan dua arena itu saling mengawasi dan mengimbangi satu sama lain (checks and balances) untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Adapun dalam sistem parlementer, pemangku jabatan eksekutif (perdana menteri atau menteri-menteri) diambil dari legislatif sehingga meniadakan sistem saling mengawasi dan mengimbangi. Meskipun demikian, sistem ini menyediakan mekanisme mosi tidak percaya terhadap pemangku jabatan eksekutif yang dinilai gagal melaksanakan kewajiban atau membuat keputusan yang merugikan.
Sistem saling mengawasi dan mengimbangi dalam sistem presidensial itu hanya bisa efektif jika kursi legislatif dikontrol dalam jumlah ideal (tidak terlalu dominan, tetapi juga tidak minoritas) oleh partai pendukung eksekutif. Maka, presiden dalam sistem ini harus memiliki ketangkasan berpolitik yang baik untuk dapat mengelola pemerintahannya plus menjaga hubungan yang seimbang dengan legislatif.
Presiden membutuhkan ‘koalisi kemenangan minimal’ (minimal winning coalition) untuk dapat mengendalikan mayoritas relatif sebesar 50% ditambah satu di legislatif agar visi, misi, dan programnya lebih mudah dieksekusi. Kesintasan presiden dalam menggenggam kuasa eksekutif akan terjamin dalam lanskap politik seperti ini. Pada saat yang sama, ia juga tidak dikhawatirkan beringsut menjadi penguasa yang sewenang-wenang karena dukungan parlemen tidak mengalami surplus.
Jika dukungan mengalami defisit dan presiden hanya dapat membangun ‘koalisi minoritas yang kekecilan’ (undersized minority coalition) dengan modal kurang dari 50% dukungan kekuatan politik di legislatif, eksekusi visi, misi, dan programnya akan melewati jalan terjal sepanjang periode jabatan. Presiden seperti ini berada dalam kendali dan sandera politik parlemen yang membuatnya kehilangan orientasi dalam memimpin kekuasaan eksekutif.
Hal terburuk ialah jika presiden membentuk ‘koalisi mayoritas berkelebihan dan kebesaran’ (oversized surplus majority coalition) yang mendominasi kursi di parlemen sehingga hampir tak menyisakan ruang bagi suara oposisi untuk mengontrol jalannya roda pemerintahan.
Presiden akan dengan mudah bermetamorfosis menjadi pemimpin sewenang-wenang lantaran hubungan eksekutif dan legislatif berada dalam ruang pluralisme politik yang terbatas (limited political pluralism).
Pluralisme politik merujuk pada jenis pemerintahan partisipatif di mana politik negara ditentukan kebutuhan dan keinginan banyak orang. Pengakuan akan keanekaragaman pilihan politik menjadi keniscayaan dalam sebuah negara demokratis.
Semakin terbatas keanekaragaman pilihan politik ini akan semakin berisiko membuat presiden menjadi satu-satunya figur politik determinan. Itu karena apa pun kehendak politiknya akan selalu diotorisasi parlemen yang telah berada dalam hegemoninya.
Tidak Diatur
Istilah koalisi tidak diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan kita. Kita hanya mengenal istilah ‘gabungan partai politik’ seperti diatur dalam Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 dan UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum yang menegaskan bahwa gabungan parpol memiliki hak untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebelum pemilihan umum. Adapun istilah oposisi malah sama sekali tidak dikenal baik secara eksplisit maupun implisit dalam peraturan perundang-undangan.
Koalisi dalam pengertian sekelompok parpol yang bersepakat bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama dalam konteks Indonesia sekadar dipraktikkan secara politik tanpa pengaturan yang jelas dalam peraturan perundang-undangan. Demikian pula oposisi yang diartikan sebagai partai penentang di parlemen yang bertugas mengkritik kebijakan partai politik yang berkuasa demi memberikan alternatif kebijakan yang lebih baik.
Dalam keadaan demikian, kesepakatan koalisi dan oposisi dalam konteks Indonesia ialah seperti selembar kertas putih kosong yang dapat ditulis apa saja di ruang tertutup oleh partai politik yang berkepentingan, dan (calon) presiden bersama (calon) wakil presiden tanpa ada kewajiban memberitahukan isinya kepada khalayak. Juga tidak ada ketentuan sampai berapa besar maksimal persentase suara atau jumlah partai politik yang boleh berada di kubu koalisi pendukung pemerintah atau oposisi.
Bahkan, sekiranya koalisi pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin merangkul seluruh partai politik pemilk kursi di Senayan pun, secara hukum tidak bisa disalahkan. Meskipun demikian, kesepakatan koalisi dan oposisi tidaklah kedap dari fatsun politik yang harus mengedepankan budi pekerti dan tata krama dalam berpolitik sebagai seni dalam mengelola kemungkinan-kemungkinan yang harus diabdikan untuk kepentingan rakyat banyak.
Sudah pasti bukan pemandangan politik yang elok jika koalisi pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin memborong hampir seluruh kekuatan politik di parlemen. Menyisakan PKS yang hanya berkekuatan 50 kursi atau hanya setara dengan 8,7% dari total 575 kursi DPR.
Untuk koalisi pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin sejak awal (PDIP, Golkar, PKB, NasDem, dan PPP), dan Gerindra, Demokrat, serta PAN yang akan bergabung, ingatlah bahwa takhta kekuasaanmu itu ialah alat berkhidmat kepada rakyat.(*)
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/266784-siapa-sudi-menjadi-oposisi