Kolom

Yuk, Move On

×

Yuk, Move On

Sebarkan artikel ini
Firman Toboleu (Foto : Istimewah)

Oleh: Firman Toboleu

Jurnalis

 

TULISAN DisWay yang di-publish pada 8 April lalu, masih kepikiran sampai saat ini. Ya, covid apa lagi. Semua sudah dibahas tuntas. Dari A sampai Z. Dari semua sisi. Dari yang masuk akal, hingga di luar nalar. Apalagi yang perlu dibahas dan diperdebatkan.

Move on. Itulah usul beliau. Banyak hal bisa dilakukan dalam batasan social dan physical distancing. Cukup sudah masyarakat ‘diteror’ berita setiap hari. Cukup sudah gambar-gambar menakutkan pakaian hazmat para tenaga kesehatan.

Move on. Coba resapi penyampaian Direktur Utama Bulog Budi Waseso saat mengikuti rapat dengar pendapat (RDP) virtual bersama Komisi IV DPR RI, Kamis (9/4), yang dirilis tirto.id. Bulog tengah menyiapkan opsi pangan alternatif berupa sagu untuk mengantisipasi kekurangan pasokan beras.

Artinya jelas. Pemerintah mulai khawatir akan terjadinya krisis pangan. Apalagi saat ini pandemi covid-19, tidak didukung kondisi alam karena sudah masuk pada musim kemarau.

Itu baru beras. Bagaimana dengan kebutuhan pokok lainnya. Seperti bumbu dapur yang menjadi ‘bahan’ wajib setiap hari di dalam rumah. Bisakah kita menyantap menu rumahan tanpa bumbu?

Bagaimana dengan kita daerah, apakah akan diam saja dengan kondisi ini. Harus  ada langkah nyata. Dan itu diperlukan pemimpin daerah yang ‘mau berbuat’. Pemimpin daerah yang ingin tampil di depan.

Pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan? Karena saya di Kabupaten Halut, mungkin saya bisa memberikan sedikit usulan bagi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Halut.

Pertama, sudah saatnya bangunkan Dinas Pertanian dari tidurnya. Cek kondisi persawahan yang ada di wilayah Kao-Malifut dan sekitarnya. Dorong petani. Beri bantuan, mulai bibit, pupuk, hingga pendampingan, agar bisa memaksimalkan panen.

Colek Dinas PU. Pastikan lahan persawahan bisa mendapatkan pasokan air yang cukup di tengah musim kemarau saat ini. Jika tidak, pikirkan cara bagaimana menanam padi ladang. Tentunya ketersediaan lahan. Karena padi ini tidak terlalu rakus air.

Setelah persoalan beras tuntas. Pastikan pemerintah punya gudang untuk menyimpan gabah atau beras warga. Telepon Bulog. Ini harus dilakukan karena kita semua belum bisa pastikan sampai kapan wabah ini berakhir.

Jika wabah ini terus berkepanjangan, (bukan meminta) tapi kekhawatiran krisis pangan, pasti akan terjadi. Sementara, pasokan pangan di Halut, kebanyakan dari luar daerah. Manado, Makassar, dan Surabaya.

Coba pikirkan. Jika situasi memburuk. Semua daerah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), bukankah akan mempengaruhi lalu lintas pangan ke Halut?

Meski ada jaminan ketersediaan pasokan pangan ke daerah, tapi apakah kita yakin jumlahnya mencukupi? Ilmu ekonomi sudah lama merumuskan. Barang sedikit, harga naik. Dalam kondisi itu, di tambah penurunan daya beli masyarakat, apa yang bisa terjadi?

Kita semua berharap semoga tidak sampai ke situ. Karena itu, sedia payung sebelum hujan. Pun jika hujan tidak turun, kita sudah punya pengalaman.

Setelah beras, apalagi? Yang tadi, berkaitan dengan bumbu dapur. Kabupaten Halut dengan gunung apinya, jadi karunia tersendiri akan ketersediaan lahan yang subur. Kenapa ini tidak dimanfatkan?

Masih banyak lahan kosong yang tidak digarap. Termasuk lahan pemerintah. Coba, colek lagi Dinas Pertanian. Di data. Siapkan bantuan bibit, tomat, rica, bawang merah, bawang putih, sayur mayur, dan sebagainya. Beri pupuk, siapkan pendamping.

Coba tanya Dinas Pertanian sekarang. Berapa banyak ketersediaan bahan pokok di Halut saat ini. Bandingkan dengan ketersediaan sebelum pandemi corona.

Sikut Dinas Perdagangan, bagaimana situasi pasar saat ini? Bagaimana perbandingan harga sebelum wabah dan saat wabah. Berikan mata melotot ke Dinas Perdagangan, ada tidak analisa daya beli masyarakat saat ini?

Jika pada tahapan ini tuntas, maka sebagian kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya krisis pangan sudah hilang. Selanjutnya, tinggal distribusinya saja.

Sedikit bocoran, salah satu perusahaan di Halut, ternyata masih kekurangan stok bumbu dapur tadi. Bahkan, mereka siap menjadi ‘pasar’ baru untuk komoditas pertanian, perikanan, dan peternakan.

Itu baru satu perusahaan. Mungkin perusahaan lain yang berinvestasi di Halut bisa menjadi pasar baru. Ayolah, saatnya menjemput bola. Otomatis, akan ada lapangan pekerjaan baru di Halut.

Pastinya, semua ini harus dijalankan dengan tetap mengindahkan SOP pencegahan covid-19. Nah, libatkan petugas-petugas kesehatan yang tidak terlalu sibuk dalam penanganan covid secara langsung. Mereka bisa mobile memantau kesehatan para petani untuk menyediakan stok pangan.

Ayolah, Halut. Bagi saya, Maluku Utara, khususnya Halut belum separah daerah lain yang sudah dalam status transmisi lokal. Sebelum itu terjadi, ‘kunci’ pintu-pintu masuk. Dalam artian pertebal pengawasan. Biar mereka bosan dengan pemeriksaan berlapis, sehingga berpikir berkali-kali untuk masuk ke Malut.

Setelah pintu-pintu aman, nah lakukan pengawasan intensif kepada pasien, mulai ODP, PDP, dan positif. Itu bagiannya Dinas Kesehatan. Aparatur lainnya, keroyokan geliatkan ekonomi dalam batasan SOP pencegahan covid tadi.

Warung-warung kecil yang bukan menjadi tempat kumpul, bisa diaktifkan kembali. Jam jual belinya. Tinggal diatur teknisnya. Misalnya, setiap warung wajib menyediakan sabun dan air bersih.

Supermarket dan swalayan, dorong fungsikan pesan antar. Begitu juga warung makan, dilarang makan di tempat, tapi berdayakan ojek dan bentor untuk jadi tukang antar.

Semuanya terima manfaat. Tidak ada massa kumpul. Warung makan dapat untung, ojek dan bentor dapat ‘penumpang’, masyarakat yang work from home (WFH) dan berada di rumah, tidak kesulitan mencari menu bagi keluarga.

Pasar tradisional juga bisa seperti itu. Menjaga jangan sampai terjadi penumpukan orang, bisa ajarkan cara pesan antar tadi. Toh semua sudah memegang android dengan aplikasi sosial media. Jadi tidak sulit lagi.

Saya pikir, masyarakat yang ada di rumah, juga tidak keberatan untuk mengeluarkan biaya tambahan untuk ojek maupun bentor. Ini juga demi kesehatan mereka.

Bidang lain juga bisa diberdayakan. Pendidikan misalnya. Bisa tanya Dinas Pendidikan apa yang bisa dilakukan. Bukankah hasil survei, banyak siswa bosan belajar sendiri di rumah. Apalagi yang sulit mengakses materi-materi yang menggunakan layanan internet.

Mungikin bisa dilakukan belajar secara berkelompok. Misalnya, seorang guru membuat kelompok siswa dengan batasan SOP tadi. 5-6 orang. Belajar di taman, berikan materi sepekan. Kelompok siswa 5-6 orang digilir per hari.

Bukan memaksa. Tapi, jika ada yang bosan, cara belajar seperti itu bisa dilakukan. Tidak perlu formal dengan seragam. Sendal jepit pun bisa. Yang pentingkan gurunya hadir. Duduk di taman pun bisa jaga jarak.

Kayaknya sudah terlalu panjang. Ya, namanya juga usul. Masih perlu kajian. Catatan ini hanya kegelisahan saja. Karena setiap hari banyak keluhan yang masuk.

Paling membekas ketika dikirimi sebuah gambar kolase berdiam diri di rumah. Tidak tahu siapa yang membuat itu, tapi ril. Gambar bagian atas, kumpul keluarga yang melihat beragam menu di tengah mereka. Miris pada gambar satunya. Hanya melihat piring dan gelas kosong.

Itu mungkin perbedaan berdiam diri di rumah ala keluarga yang memiliki pendapatan tetap, dengan keluarga yang hanya mengharapkan pendapatan dari pekerjaan harian.

Catatan ini hanya ingin mengajak semua pihak untuk optimis di tengah pandemi. Tanpa terbebani. Semuanya bisa melanjutkan hidup dengan enjoy, tapi tetap mengikuti seluruh imbauanj pemerintah yang panjang lebar diurai dalam SOP pencegahan covid-19. Itu saja, tidak ada maksud lain.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *