Oleh: Hatib Kadir
Dosen Antropologi Universitas Brawijaya
SEJARAWAN Yuval Noah Harari (Homo Deus, 2015) menunjukkan, kita hidup di zaman manusia kelebihan makanan dan gula. Akibatnya, penderita obesitas jauh lebih tinggi daripada yang kelaparan. Ini adalah abad saat manusia dan negara mengalami rata-rata pendapatan lebih tinggi daripada abad sebelumnya.
Senada dengan Harari, Steven Pinker (Enlightenment Now, 2017) menunjukkan bahwa sekarang adalah abad terdamai karena tidak terjadi perang secara global setelah 1945.
Namun, kita patut menahan tepuk tangan dulu. Sebab, pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi hanya dirasakan segelintir persen elite. Dan ini adalah era ketika tingkat penyakit mental, depresi, kesepian, hingga bunuh diri meningkat pesat.
Kita memasuki era di mana ada permasalahan yang lebih krusial daripada kemiskinan. Yakni, ketimpangan. Jika ukuran kemiskinan adalah pendapatan 2 dolar per hari, pegawai restoran besar, karyawan pom bensin, buruh pabrik, hingga sopir online memang termasuk tidak miskin. Rata-rata pemasukan mereka sudah di atas upah minimum. Hampir sama dengan gaji pekerja sektor formal seperti pegawai negeri, dosen, dan wartawan. Namun, naiknya income poverty itu bukannya tanpa risiko. Sebab, mereka yang mengandalkan pendapatan saja pada saat yang sama harus menanggung beban kesejahteraan sosialnya sendiri. Yang dulunya ditanggung negara. Misalnya, dana pensiun, dana transportasi publik, hingga biaya perawatan anak (child care) untuk ibu pekerja.
Memang, angka kemiskinan mulai menurun. Pemerintah dibantu NGO internasional mengentaskannya dengan cara teknikalisasi. Yakni, mengatasi kemiskinan melalui inovasi teknologi dan kreativitas. Namun, pada saat yang sama, teknikalisasi menghindari isu politik penyebab kemiskinan itu sendiri. Yakni, ketimpangan kepemilikan tanah dan struktur utang dengan patron yang mengikat.
Karena itu, argumen saya, kita mampu mengentaskan kemiskinan, tapi tidak ketimpangan. Sebab, cara menyelesaikan ketimpangan adalah mendesak kebijakan politik.
Hampir semua era pemerintahan Indonesia selalu mengeklaim telah menurunkan angka kemiskinan. Yang tidak pernah mereka klaim adalah ketidakmampuan menghilangkan angka ketimpangan. Kemiskinan bisa jadi permasalahan etos kerja individu, seperti argumen para ekonom liberal. Namun, ketimpangan jelas permasalahan politik. Ketimpangan berkaitan dengan isu politik karena konsentrasi kekayaan (wealth concentration) diakumulasi oleh 1 hingga 10 persen orang yang memonopoli semua investasi publik (public investment). Mulai asuransi kesehatan, sarana air bersih, perumahan, kepemilikan tanah, hingga pendidikan. Ironisnya, elite yang 1 persen itu sangat dekat dengan pemerintah atau yang sering disebut oleh para teoretikus politik sebagai oligarchy.
Ketimpangan tidak lagi dibuktikan dengan angka-angka statistik karena ia dapat dimanipulasi. Saat ini ketimpangan dapat dengan mudah diobservasi dalam keseharian. Di dalam kampus, misalnya, ada pedagang keliling yang bekerja untuk mendapatkan laba 2 ribu rupiah. Pada saat yang sama, ada mahasiswa yang mempunyai mobil Porsche atau Ferrari.
Kesehatan Mental
Ketimpangan ekonomi saat ini menempatkan anak muda dalam golongan prekariat. Kaum prekariat adalah golongan yang kehilangan harapan dan akses. Harapan untuk punya pekerjaan tetap, menikah, punya rumah, dan dana pensiun. Generasi saat ini hidup di era ketika mereka tercerabut dari solidaritas organisasi ke persaingan individual yang atomik, hingga dicabutnya subsidi kesejahteraan sosial oleh negara. Anak muda bekerja dengan kontrak yang singkat dan benefit minimum. Relasi antara pemberi kerja dan pekerja sangat longgar dan bersifat sementara. Hal tersebut tentu saja menyebabkan kecemasan dan mengganggu kesehatan mental karena kehilangan ketetapan dan kepastian.
Kerentanan dan gangguan mental adalah persoalan masyarakat terbaru saat ini. Jared Diamond (The World Until Yesterday, 2012) menunjukkan bahwa ia tidak menemui isu gangguan mental, depresi, dan kerentanan pada masyarakat tradisional. Nilai tertinggi dalam hidup adalah kerja sama, bukan kompetisi. Pertukaran ekonomi berdasarkan solidaritas sosial (social solidarity) daripada transaksi ekonomi (economic transaction).
Hilangnya pekerjaan dan rendahnya keinginan menikah telah memasukkan generasi muda saat ini pada sindrom remaja berkepanjangan (perpetual adolescent). Andres Velasco, mantan menteri keuangan Cile yang juga profesor di LSE, melaporkan bahwa pada 1940, sebanyak 90 persen anak mempunyai pendapatan yang lebih baik daripada orang tuanya. Saat ini hanya 50 persen yang mengalami hal tersebut. Sisanya, mereka tinggal dengan orang tuanya, bahkan hingga berusia 35 tahun. Anak muda tidak mempunyai bayangan soal masa depan (future) karena tidak memiliki simpanan berlebih untuk mengejar bunga pinjaman rumah. Karena itu, yang mereka nikmati adalah masa kini (presence) dengan cara jalan-jalan atau makan dan minum kopi enak. Itulah yang disebut Abhijit Banerjee dan Esther Duflo sebagai godaan sesaat (short temptation). Yakni, orang miskin tidak mempunyai tabungan karena tidak dapat mengontrol ”kesenangan sesaat” yang menghibur mereka.
Optimisme?
Saya tidak melihat tahun ini penuh dengan kemuraman. Anak muda telah mempunyai kesadaran yang tampak pada gerakan protes global hingga mencapai 23 negara. Mereka adalah generasi Y dan Z berusia 15 hingga 35 tahun yang menuntut subsidi dana sosial, keadilan, hak asasi manusia, pengentasan korupsi, dan penanganan krisis pemanasan global. Ke depan gerakan itu terus membesar karena ketimpangan dan krisis ekologi yang semakin buruk dari abad sebelumnya.
Kita perlu optimistis terhadap diri, keluarga, dan orang-orang terkasih di sekitar. Sebab, hidup penuh dengan pesimisme tidak baik bagi kesehatan diri. Namun, kita tidak harus sepenuhnya optimistis terhadap negara. Sebab, tidak semua politikus dan elite adalah orang yang mempunyai niat baik untuk kita. Kita harus tetap menjaga pesimisme karena dengan itu kita tidak jatuh pada kekecewaan dan depresi akibat menaruh harapan besar pada pemerintahan saat ini.(*)
Sumber: https://www.jawapos.com/opini/30/12/2019/2020-berani-tidak-terlalu-optimistis/