Kolom

Kalung Anticorona: Dokter Arend Pasti ‘Nangis’ Baca Itu

×

Kalung Anticorona: Dokter Arend Pasti ‘Nangis’ Baca Itu

Sebarkan artikel ini
Firman Toboleu (Foto : Istimewah)

Oleh: Firman Toboleu

Wartawan Harian Halmahera

 

SAAT ramai diperdebatkan rencana produksi massal kalung minyak kayu putih yang diklaim anticorona, hanya satu kalimat yang muncul di kepala ketika membacanya. “Dokter Arend pasti menangis membaca ini.”

Mengawali catatan ini, arifnya saya harus meminta maaf dulu kepada dr Arend. Karena sudah menggunakan namanya tanpa izin. Namun, maksud dari tulisan ini, sebenarnya ingin menggugah ‘hati’ pemerintah pusat.

Negara kita faktanya memiliki banyak tanaman herbal. Siapapun dengan kualifikasi ‘peneliti’ bisa menghasilkan produk herbal. Tentunya harus melalui proses penelitian. Termasuk uji klinis bertahap.

Ramai soal kalung anticorona ini, muncul sepekan setelah saya berdiskusi ringan dengan dr Arend atau dengan lengkap saya sebut dr Arend L Mapanawang.

Diskusi kami pun tentang herbal. Bahkan, ada satu ide brilian dari dr Arend yang bisa saya kutipkan. “Indonesia Negara Herbal.” Itu murni idenya yang diusulkan dalam forum Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Menurutnya, Indonesia harus punya ikon. Dia terlihat sedikit ‘keberatan’ ketika saya menyebut, “Indonesia negara agraris.” Dr Arend menilai, Indonesia negara agraris terlalu umum. Apalagi, sudah banyak negara lebih ‘agraris’ dari Indonesia saat ini.

“Coba kita kembali saja pada sejarah bangsa ini,” kata dr Arend, coba menjelaskan ide ikon Indonesia Negara Herbal.

Sejak dulu, negara ini diperebutkan (dijajah) karena kandungan rempahnya. Itu membuktikan, karakteristik rempah atau herbal Indonesia sudah diakui dunia sejak dulu. Karena itu, lebih cocok jika dipakai negara rempah atau negara herbal.

Bagi saya pribadi, dr Arend mungkin bisa dijuluki dr herbal di Halmahera Utara (Halut), bahkan Indonesia Timur. Julukan itu layak karena sudah banyak bahan herbal Halmahera yang diteliti dan dijadikan produk herbal. Sebut saja di antaranya Golobe, Laor, dan Pangi.

Ketiga produk herbal itu, bahkan sudah sampai pada tahapan uji klinis. Tigak hanya itu, kandungan ketiga bahan itu, mengarah pada kemampuan senyawa untuk menekan perkembangan virus dalam tubuh.

Nah, terkait dengan virus corona. Dr Arend sejak awal kemunculan virus, sudah siap melakukan uji klinis produk herbal golobe dan pangi. Tentunya, untuk uji klinis butuh dukungan pemerintah. Terutama izin dan pendanaan.

Karena itulah, dalam catatan ini mengangkat judul kalung anticorona: dokter arend pasti nangis membaca itu. Maksudnya, kenapa pemerintah pusat maupun daerah, tidak memberikan kesempatan kepada peneliti-peneliti herbal untuk menciptakan produk herbal.

Miris, karena selama ini alat kesehatan, termasuk obat-obatan, semua berlabel impor. Sebagai negara yang kaya akan tanaman herbal, harusnya pemerintah memberikan suppport untuk pengembangan tanaman herbal dan turunannya.

Kegelisahan dr Arend ini mirip yang disampaikan Prof. Dr. Ratna Asmah Susidarti, M.S., Spt., saat menyampaikan pidato pengukuhan jabatan Guru Besar pada Fakultas Farmasi UGM pada 2017 silam.

Menurutnya, Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Tidak kurang dari 30.000 spesies tumbuhan ada di hutan tropis Indonesia. Dari jumlah tersebut sekira 9.600 spesies yang diketahui memiliki khasiat obat.

Sayangnya belum semuanya dimanfaatkan untuk pengobatan. Baru 200 spesies saja yang telah digunakan sebagai bahan baku industri obat tradisional.

Secara global, kata Ratna, pemanfaatan tanaman sebagai bahan baku obat juga belum dilakukan secara maksimal. Dari sekira 250.000-500.000 spesies tumbuhan yang ada di dunia, hanya sekira 15 persen dilaporkan telah diteliti secara fitokimia. Sementara itu, untuk tanaman yang telah diuji aktivitas biologisnya baru sekira 6 persen.

Nah, apalagi pada pada April 2020, saat Ketua Yayasan Stikmah Tobelo ini genap berusia 55 tahun, ada kabar dari Kemenristek/BRIN terkait inovasi hingga ke hilirisasi untuk percepatan pengggulngan covid-19. Kemudian, pada 18 Mei lalu, tiga produk Herbalove Golarend, Pangiar, dan Starend, masuk konsorsium riset nasional percepatan penaganan covid-19.

Tentunya bangga, ada inovasi dari Stikmah Tobelo, satu-satunya sekolah tinggi di Indonesia, bisa sejajar 15 universitas unggulan, seperti UGM, UI, ITB, dll, yang produknya di-launching Presiden Jokowi pada 20 Mei lalu. Ada 61 produk yang di dalamnya herbalove.

Tentunya, akan lebih bangga lagi, jika produk Halut ini didukung penuh Pemerintah Daerah (Pemda), baik Provinsi Malut maupun Kabupaten Halut.

Menutup catatan ini, selain kalung minyak kayu putih, tentunya pemerintah harus memberikan kesempatan dan dukungan penuh kepada peneliti lainnya, khususnya peneliti di daerah untuk menciptakan produk herbal. Makin banyak produk herbal, tentunya makin baik bagi Indonesia.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *