Kolom

Menyoal Peran Wantimpres

×

Menyoal Peran Wantimpres

Sebarkan artikel ini
Wantimpres Joko Widodo (Foto : Net)

Oleh: Zainal Bintang

Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya

 

WANTIMPRES (Dewan Pertimbangan Presiden)  telah dilantik oleh  Jok Widodo, Jumat (13/12) di Istana. Lembaga ini lebih dikenal sebagai institusi bisu dan pasif,  merupakan reinkarnasi  DPA (Dewan Pertimbangan Agung) yang eksis di era Orde Lama dan Orde Baru.

DPA adalah lembaga tinggi negara Indonesia menurut UUD 45 sebelum diamendemen yang fungsinya memberi masukan atau pertimbangan kepada presiden. Dibentuk berdasarkan Pasal 16 UUD 45 sebelum diamendemen. Ayat 2 menyebutkan DPA wajib  memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah. Ia berbentuk Council of State yang wajib memberi pertimbangan kepada pemerintah.

Wantimpres tidak memiliki kewenangan “memaksakan” nasehatnya kepada presiden. Masyarakat tidak punya akses mengetahui  apa isi nasehat Wantimpres. Sepanjang usianya yang tidak pendek, lembaga pertimbangan presiden ini baik di era Orla, Orba dan Reformasi masyarakat tidak pernah tahu sektor apa saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang pernah menjadi concern lembaga itu.

Tidak pernah diumumkan  masalah kebangsaan genting mana yang berhasil ditanggulangi oleh negara sebagai masukan dari Wantimpres. Hal – hal inilah yang  yang mendorong  lahirnya tanda tanya  akan kegunaan lembaga itu, tepat di era keterbukaan transparansi disemua sektor mengemuka. Era millennial meniscayakan menabukan hal-hal yang serba tertutup dan tidak jelas.

Wantimpres mendapat fasilitas dan keuangan dari negara setara dengan menteri dan  dibantu  satu orang Sekretaris, dapat mengikuti sidang kabinet serta kunjungan kerja dan kunjungan kenegaraan jika diminta presiden, serta dapat meminta informasi dari instansi pemerintah terkait dan lembaga negara lainnya. Namun didalam menjalankan tugas dan fungsinya, Wantimpres tidak dibenarkan memberikan keterangan, pernyataan, dan/atau menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangan kepada pihak manapun.

Dalam sistem presidensial posisi presiden sangat kuat, merangkap sebagai kepala negara dan pemerintahan. Memperoleh mandat  rakyat melalui pemilihan langsung. Tigapuluh empat kementerian lengkap dengan ribuan unit kerjanya sudah lebih dari cukup sebagai narasumber bagi presiden untuk memantau segala macam hal dan persoalan sekaligus bersama opsi solusinya mengindikasikan presiden tidak tertarik kepada nasihat.

Publik mendorong Jokowi sebaiknya konsisten memperluas wilayah  pembaharuan hukum. Keputusannya yang sensasional memerintahkan pembentukan “Omnibus Law” disambut positif oleh publik. Dalam persepsi publik Jokowi  terlihat sedikit cerdas, liat bercampur nekat. Mungkin itu efek setelah dipaksa “kuliah” di dalam  pasang surutnya gelombang  politik berkelas nasional, yang terkadang berubah jadi badai, selama lima tahun, membuat mantan walikota Solo itu, meskipun terlihat gamang, namun pelan seperti sudah mulai punya rasa percaya diri.

Terkait dengan fakta itu. ada baiknya “keterkejutan” masyarakat yang tertimpa goncangan bombastik proyek ‘Omnibus Law” yang digagasnya, segera dikapitalisasi menjadi pintu masuk merombak status Wantimpres menjadi lembaga yang bisa diakses oleh publik.

Transparansi fungsi dan tugas Wantimpres penting untuk melepaskan anggapan  Wantimpres hanyalah “asesoris” negara belaka. Sebagai pembayar pajak yang baik  sangat wajar jika masyarakat berkeinginan mengetahui kiprah dan kinerja Wantimpres. Cara – cara kerja yang tidak transparan, eksklusif, elitis dan feodalistik  yang kebanyakan ditemukan dipraktekaan sebagai budaya dalam sistem monarki sudah usang, kuno sudah harus ditinggalkan.

Adnan Buyung Nasution yang mantan anggota Wantimpres (2007 – 2009) di era presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) pernah membuat “terobosan”. Nekat  menulis buku “Nasihat Untuk SBY” yang diluncurkan 2012. Isinya membocorkan kepada masyarakat nasihatnya untuk presiden selama menjadi Wantimpres Hal itu membuktikan ketertutupan Wantimpres sangat tidak kompatibel dengan jalan fikiran demokratis masyarakat moderen.

Menyedihkan memang, di era pemerintahan Soeharto, keberadaan DPA diplesetkan menjadi “Dewan Pensiun Agung”. Mengindikasikan  keberadaan lembaga itu dalam sistem ketatanegaran tidak menimbulkan getaran pesona apa – apa,  lantaran tidak memiliki daya tendang yang membuatnya berwibawa.

Di tengah fasilitas negara yang berlimpah yang diambil dari pajak rakyat, lahir pertanyaan :  mampukah atau masihkah Wantimpres mampu  memperjuangkan pengentasan kemiskinan, ketimpangan, keterbelakangan dan ketidak adilan yang masih membelit rakyat hingga hari ini, termasuk ancaman radikalisme dan politik identitas.

Padahal Indonesia sudah merdeka selama 74 tahun dan reformasi sudah memasuki tahun keduapuluh,  nyatanya hal – hal prinsipil tersebut diatas belum juga tuntas diatasi oleh negara. Untuk menjawab pertanyaan itu, masyarakat perlu akses, bukti dan kata pasti atas kinerja Wantimpres.

Bagaimanapun juga sudah saatnya Wantimpres harus dibebaskan dari dugaan bahwa  mereka diangkat oleh presiden sebagai bentuk politik akomodasi yang bertujuan menjaga stabilitas pemerintahannya.

Sejujurnya masyarakat tidak sampai hati  menyaksikan para pensiunan yang sudah sepuh-sepuh itu, apabila terus-terusan dianggap sebagai “laskar tidak berguna” yang berbiaya besar.

Renungkanlah!! (*)

Sumber: https://rmol.id/read/2019/12/15/413652/menyoal-peran-wantimpres

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *