Kolom

Menyoal: Populisme, Politik Identitas, Dan Dinamika Elektoral

×

Menyoal: Populisme, Politik Identitas, Dan Dinamika Elektoral

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi (Foto:Net)

Oleh: Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid

 

BAGAIMANA perkembangan politik domestik? Sekurangnya dua hal penting semakin mencuat dan menjadi bahan diskusi menarik, terutama terkait dengan populisme dan politik identitas, saling berkelindan hingga menciptakan dinamika politik secara aktual akhir-akhir ini.

Apa yang akan dibahas dalam tulisan ini, merupakan bentuk summary atas buku karya Burhanuddin Muhtadi dengan judul serupa, dengan anak judul: “.. Mengurai Jalan Panjang Demokrasi Elektoral”. Dalam buku 304 halaman tersebut, yang rilis Maret 2019, Burhanuddin merilis gagasannya dalam rentang kajian berbagai momentum politik, termasuk di antaranya: Pilpres 2014, Pilkada DKI 2016, termasuk Pilkada Serentak 2018 hingga bagian dari tahap awal Pilpres 2019.

Sekurangnya, kajian terkait hasil Pileg dan Pilpres 2019, akan menjadi kajian lanjutan yang menarik serta perlu dibahas kemudian hari. Karena momen tersebut, yakni Pemilu 2019, dinyatakan sebagai kontestasi tersengit dalam konteks Pilpres, sehingga dapat menjadi sarana uji premis dari apa yang disampaikan Burhanuddin terkait dengan frase populisme dan politik identitas.

Penjelasan pada bahagian awal dari buku tersebut dengan terang mendasarkan dirinya pada konsep populisme sebagaimana dimaknai menjadi gerakan anti-status quo. Dalam kancah politik, populisme ditandai dengan upaya menempatkan publik sebagai arus utama dan center point.

Problemnya, populisme kerap kali tersandera sebagai metode dan sarana mencapai pusat kekuasaan. Keikutsertaan publik, dalam pembicaraan kepentingan publik itu sendiri, hanya muncul pada periode singkat menjelang kompetisi politik. Dengan begitu, partisipasi publik diartikan sebagai kalkulasi atas jumlah suara politik.

Populisme, sesuai Burhanuddin, dapat menggunakan jargon politik yang tampil merakyat, menjadikannya sebagai wadah aspirasi kelompok marjinal, meski kemudian dibajak oleh kepentingan segelintir pihak bahkan oleh oligarki kekuasaan yang sedang bertanding dalam kontestasi politik melalui ajang pemilihan. Sekali lagi, populisme adalah penghantar menuju epicentrum kursi kuasa.

Lalu bagaimana politik identitas? Apakah jenis dan mekanisme politik identitas tersebut menjadi madu bagi demokrasi, ataukah sebaliknya? Kajian ini menempatkan aspek primordial, dalam hal suku dan agama sebagai basis analisa politik. Khusus di Indonesia, akan terkait dengan keberadaan Islam sebagai landasan politik berkenegaraan.

Politik identitas, seringkali jatuh pada stereotip, baik terhadap diri sendiri di dalam kelompok, maupun ketika memandang keberadaan kelompok lain. Bentuk politik identitas kemudian kerap terjerembab di penguatan sentimen SARA. Maka kategorinya berubah menjadi politisasi identitas. Lagi-lagi kehadiran politik identitas hanya menjadi medium bagi pencapaian kekuasaan.

Dari 2014 hingga 2019

Sesuai dengan temuan Burhanuddin, melalui lembaga survei Indikator, basis fakta yang diungkap dalam buku tersebut menampilkan temuan lapangan baik dalam bentuk survei opini publik, maupun kajian atas proses politik yang telah terjadi.

Jika merunut pembahasan dalam buku tersebut, yang banyak mengambil kajian pada perjalanan kasus Ahok dan Pilkada DKI yang menghadirkan kejutan dengan rising star AHY, serta Anies Baswedan sebagai representasi dari kelompok Islam Politik. Nampak Burhanuddin mencoba menjelaskan persoalan terbesar dari kesenjangan nilai approval rate atas kinerja Ahok yang tinggi dengan potensi keterpilihan.

Salah satu faktor yang dianggap membantu Anies untuk naik ke arena politik Ibukota, lebih disebabkan karena dinamika situasional atas penguatan sentimen yang terkonstruksi pada bingkai intoleransi sosial. Di titik tersebut, fenomena politisasi identitas dimainkan sebagai upaya memastikan dukungan.

Agaknya Burhanuddin perlu mempertajam persoalan politik identitas yang lahir dari substansi dasar di alam bawah sadar publik. Realitas yang jauh dari idealitas, menciptakan permasalahan pada memori kolektif publik. Pada kajian komunikasi, hal ini dapat diterangkan melalui aspek homophily yakni kelekatan berdasarkan kesamaan yang dimiliki. Titik kesamaan tersebut, menciptakan interaksi yang lebih mendalam.

Studi kasus yang dilakukan Burhanuddin, sekurangnya melibatkan beberapa aktor yang menjadi magnitude medan politik nasional. Termasuk Jokowi dan Prabowo dalam rematch 2014 dan 2019. Fenomena Jokowi dan juga Ahok adalah bentuk dari tingginya popularitas tokoh yang secara anomali berhadapan dengan rentang jarak tingkat keterpilihan.

Sudah jauh-jauh hari Burhanuddin melihat melalui kacamata survei bahwa politik identitas akan semakin menguat dan memainkan peran. Namun pada akhirnya, para pihak yang terlibat dalam proses kompetisi politik secara pragmatis akan mempergunakan hal tersebut untuk menguatkan dan merebut dukungan.

Situasi ini menjelaskan bagaimana peta pembentukan pasangan kandidat Pilpres Jokowi yang sebelumnya menggadang-gadang Mahfud MD justru berbalik menjadi KH Maruf Amin. Selain proses kompromi dalam koalisi partai politik, sosok Kiai Maruf dipandang signifikan dalam meredam isu anti-Islam yang lekat dengan Jokowi. Meski figur Ketua MUI tersebut juga adalah tokoh yang identik dengan kebangkitan Islam Politik di 411 dan 212.

Anomali dan paradoks adalah wajah medan politik lokal saat ini. Menempatkan permainan politik identitas hanya bagi sekelompok golongan, nampaknya tidak mampu menjelaskan secara keseluruhan, terlebih semua pihak terlibat dalam mempergunakan isu identitas bagi kemenangan politik. Hal yang nampak dengan mudah terbaca adalah perilaku pemilih yang tidak memiliki keterkaitan ideologi dengan partai yang dipilihnya dalam pemilu, dan bersifat hanya sesaat.

Kajian Burhanuddin jelas belum selesai, terutama dalam membaca proses perjalanan kontestasi sepanjang Pilpres dan Pileg serentak 2019. Lebih jauh dari itu, untuk memproyeksikan seberapa lama bangsa ini mampu melakukan pemulihan diri dari keterbelahan akibat polarisasi politik. Namun yang telah pasti di dalam ingatan dan catatan publik, bahwa kesepakatan elite seringkali terjadi dengan mengatasnamakan publik.

Di masa mendatang publik pemilih harus belajar banyak untuk memastikan kesejatian kepedulian bagi kepentingan publik lebih dari sekadar citra dan bungkus populisme bagi kepentingan pemilihan semata. Pada momentum 2014 dan 2019 kita belajar banyak akan hal tersebut!(*)

Sumber: https://rmol.id/read/2019/08/31/401415/menyoal-populisme-politik-identitas-dan-dinamika-elektoral

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *