Kolom

Tetap Menjadi Sahabat Anak Indonesia

×

Tetap Menjadi Sahabat Anak Indonesia

Sebarkan artikel ini
LILIK DHARMAWAN (Foto : MI)

Oleh: Seto Mulyadi

Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

 

HARI itu merupakan momen serbaempat. Tanggal empat, bulan empat, jam… boleh percaya atau tidak, jam 4 sore. Setengah abad silam, itulah kali pertama seorang tokoh pendidikan anak usia dini memperkenalkan seorang anak muda kepada para orangtua yang mengantar anak-anak balitanya di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) asuhan beliau:

“Ibu-ibu, ini saya perkenalkan asisten saya yang baru. Kita panggil: Kak Seto!”

Saya bertatap muka langsung dengan idola saya, sosok penginspirasi, insan yang menerima saya tanpa syarat. Pak Kasur, namanya. Pada hari itu pula, arah hidup saya menemukan titiannya.

Tulisan ini ialah jawaban yang para sahabat ajukan ke saya menjelang 4 April ini. Pertama, tentang dunia perlindungan anak di Tanah Air. Butuh berpuluh halaman untuk merespons persoalan makro tersebut. Indonesia ini luar biasa. Indonesia merupakan satu dari sedikit negara yang hampir secara khusus memiliki kementerian yang mengurusi masalah anak.

Saya tulis kata ‘hampir’ karena saat menjadi panelis pada acara Debat Capres Cawapres 2004, saya sempat melontarkan gagasan kepada capres Susilo Bambang Yudhoyono untuk membahas rencana pembentukan kementerian dimaksud, yang saya usulkan ialah Kementerian Perlindungan Anak. Titik.

Bukan karena bersentimen negatif terhadap perempuan. Namun, pada banyak situasi, urusan perempuan sering tidak bisa diharmoniskan dengan urusan anak. Juga, menyandingkan ‘anak’ dan ‘perempuan’ pada satu kementerian seolah justru meletakkan para lelaki ke tepi.

Padahal, kesadaran para ayah untuk terlibat aktif dalam pengasuhan anak pun sudah menjadi gelombang kesadaran yang tak lagi bisa dibendung. Ayah dan ibu sama-sama memiliki kekuatan dalam pengasuhan, bukan sebagai pesaing satu sama lain, harus terus dimantapkan sebagai salah satu pilar pembangunan bangsa. Atas dasar itu, sebaiknya kementerian ini cukup bernomenklatur kementerian perlindungan anak.

Kedua, tentang pekerja perlindungan anak di Tanah Air. Penuh rasa syukur, tampaknya semakin banyak masyarakat yang terpanggil untuk mendarmabaktikan hidup mereka di dunia perlindungan anak. Sementara itu, seolah ada semacam persaingan di sana-sini, semoga masih pada tataran wajar. Prinsipnya ialah berlomba dalam melakukan kebajikan dan menjauhkan kemunkaran.

Di sinilah pentingnya dunia perlindungan anak dikelola secara modern. Bukan sekadar menonjolkan kefiguran, melainkan sungguhsungguh bergerak di atas mesin yang sehat. Organisasi perlindungan anak yang terkelola dengan baik akan melipatgandakan energi kebaikan para punggawanya. Para pekerja yang terbina dengan baik pun akan berkembang dari mindset relawan ke mindset profesional.

Ketiga, nasib anak-anak di tengah pandemi covid-19. Sejak bulan lalu, saya sudah meramalkan situasi yang hari ini diistilahkan sebagai swakarantina, swaisolasi, dan lockdown. Ketika virus memaksa orang tua dan anak-anak untuk berlindung di dalam rumah, semestinya menjadi pemandangan manis, yakni momen bagi ayah-bunda untuk merevitalisasi eksistensi mereka sebagai orangtua efektif, bukan orang tua biologis semata.

Keempat, nilai penting keluarga. Saya mengangankan sungguh istimewa apabila Istana Anak-Anak di Taman Mini Indonesia Indah dapat dijadikan sebagai museum perlindungan anak Indonesia. Di sana nantinya dapat dipajang pernak-pernik milik para tokoh yang telah mendedikasikan hidup mereka bagi kesejahteraan anak-anak Indonesia.

Baju batik Pak Kasur, kacamata Bu Kasur, coretan partitur Bu Soed, topi pet Pak Tino Sidin, pena Pak AT Mahmud, dan lainnya menjadi isi museum. Namun, guru dari segala guru saya di bidang perlindungan anak, tak lain ialah justru keempat darah daging saya sendiri. Saya ikut menyusun kurikulum home schooling dan sejumlah sentra pendidikan anak usia dini. Namun, kurikulum kehidupan yang terus terbarui dari hari ke hari, yang menuntut keseimbangan antara praktik dan teori, hanya bisa disusun empat guru besar cilik saya ini. Empat mahaguru yang lahir dari rahim istri saya tercinta.

Prestasi Sejati

Saya tidak memosisikan diri sebagai kepala keluarga teladan. Namun, tak perlu menjadi seorang profesor untuk memiliki pemahaman bahwa prestasi sejati seorang pekerja perlindungan anak sudah seharusnya bermula dari anak-anaknya sendiri.

Pada sisi itulah saya konsekuen dengan perkataan saya sendiri. Kak Seto yang antirokok, antimiras, dan antinarkoba ialah ayah dengan keempat putra-putri yang juga menolak rokok, miras, dan narkoba. Kak Seto yang memandang LGBT sebagai penyimpangan kodrat manusia merupakan ayah yang menumbuh-kembangkan anak-anaknya untuk kelak membangun ikatan perkawinan dan rumah tangga yang bahagia.

Kak Seto yang pencinta seni merupakan ayah yang juga menanamkan cinta seni pada anak-anaknya. Kak Seto yang selalu berpesan tentang sikap mengedepankan kepentingan anak-anak ialah juga ayah yang setiap waktu menempatkan anakanaknya di atas segala-galanya.

Satu lagi: Kak Seto yang jauh dari sempurna ialah ayah yang juga mengajarkan kepada anak-anaknya bahwa mereka juga jauh dari sempurna sehingga perlu terus belajar dan tetap rendah-hati. Sebagai ayah yang tidak sempurna, pada titik yang tak mampu saya lampaui itulah saya berpasrah diri agar Tuhan menjadikan tiga putri yang saya sayangi dan satu putra yang saya banggakan sebagai penyempurna atas hidup mereka sendiri.

Akhirnya, untuk membakar semangat semua insan di negeri ini, saya menyanyikan nada indah ini: ‘Bangsa yang besar adalah bangsa yang mencintai dan melindungi anak-anak!!’ Cita-cita ‘sederhana’ itu ialah bintang yang ingin kita gapai bersama. Semoga.

(Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/301157-tetap-menjadi-sahabat-anak-indonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *