HARIANHALMAHERA.COM– penetapkan tersangka dugaan kasus korupsi anggaran makan minum (Mami) dan perjalanan dinas (Perjadin) Wakil Kepala Daerah (WKDH) tahun 2022 di sekretariat Pemprov Malut oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Malut dipertanyakan oleh kuasa hukum tersangka. Pasalnya, penetapan bendahara insial MS sebagai tersangka dianggap bentuk zolimi dan tidak adil.
Tersangka MS melalui penasehat hukum M. Bahtiar Husni, mengatakan bahwa padahal untuk membuktikan kasus tersebut banyak bukti yang mengarah kepada tersangka lain, namun hal itu tidak ditindaklanjuti atau dilakukan pendalaman sehingga hanya menetapkan tersangka tunggal, yaitu MS.
“Perjadin itu terdapat dua ketegori yaitu, secara resmi dari Protokoler Setda Provinsi Malut dan non resmi yang diatur oleh mantan Wakil Gubernur M. Al Yasin Ali bersama istrinya Mutiara T. Yasin dan anaknya berinisial AFY. Proses pengaturan itu dimulai dari pelaksanaan kegiatan, waktu pendamping saat mengikuti serta lamanya kegiatan, hal ini dapat dibuktikan dengan lembar disposisi yang ditandatangani oleh Wakil Gubernur M. Al Yasin melalui rekaman percakapan telepon serta bukti percakapan Whatsapp,”katanya, Rabu (21/5).
MS sendiri lanjutnya, hanya bertugas sebagai juru bayar atas semua kegiatan yang sudah dilaksanakan, setelah menerima semua bukti Perjadin dari pelaku perjalanan, yang telah dikumpulkan oleh salah satu pendamping kegiatan tersebut.
“Lalu kemudian diserahkan kepada kelian kami untuk dibuat pertanggungjawaban guna untuk mencairkan biaya perjadin tersebut ke rekening masing masing pelaku perjalanan dinas,”jelasnya.
Perjadin non resmi sendiri sambungnya, merupakan agenda yang diatur oleh Wagub dan keluarganya untuk mengakomodir kepentingan pribadi, misalnya menghadiri acara pernikahan keluarga di Medan, Jakarta dan makassar sekaligus merayakan lebaran, bahkan masih banyak lagi kegiatan perjadin luar daerah maupun dalam.
Menurutnya kegiatan itu yang sengaja dibuat seakan-akan membawa outcome untuk daerah, tetapi kenyataannya hanya kepentingan dan keuntungan pribadi sehingga pelaksanaan tugas tersebut tidak ditindaklanjuti yang disampaikan kepada OPD atau Lembaga terkait. “Sehingga hal itu dapat dikatakan hanya menghabiskan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tanpa menguntungkan daerah,” katanya.
Sementara itu terkait dengan belanja Mami, jamuan tamu dan rapat di kediaman menggunakan catering tamasha milik ibu berinisial (OFW) yang mana diketahui merupakan staf honorer pada sekretariat Wagub Malut selaku juru masak.
Kemudian, lanjut MS dibuatkan perusahan catering oleh anaknya wagub (AFY) dengan mengatasnamakan Ibu OFW selaku direkturnya yang dibuktikan dengan semua dokumen perusahaan dibuat dan diurus AFY dan Suaminya.
AFY juga meminta bantuan sespri wagub untuk mengurus surat higienis catering tamasha pada dinas kesehatan, akan tetapi catrering tersebut tidak terdapat lokasi dapur produksi dan alat serta barang catering.
“Maka dapat dikatakan jika catering tamasha ini sengaja dibuat atas nama ibu OFW tetapi pemiliknya AFY anaknya wagub, sehingga bisa mencairkan dana belanja mamin pada lingkup wagub tanpa menggunakan pihak lain,”terangnya.
Dalam proses pelaksanaanya berjalan, kata MS tidak sesuai dengan yang semestinya, dimana jika kegiatan mami pada sekretariat wagub benar dilaksanakan oleh Catering Tamasha. Maka disaat dirinya memproses pencairan dana mami terlebih dulu harus meminta nota tagihan kepada pihak catering tamasha untuk bisa dibayarkan, tetapi faktanya disaat diminta ke Ibu OFW atas belanja mami di kediaman wagub, tidak memperoleh nota tagihan sama sekali.
Justru Ibu OFW mengatakan tunggu dia akan mengkonfirmasi dulu kepada Ibu wagub, lalu kemudian MS ditelepon oleh Ibu wagub dan menyampaikan bahwa dirinya (MS) jangan pernah menghubungi pihak catering lagi.
Jika mencairkan biaya mami ikuti saja arahan saya (Ibu Wagub) setiap bulannya kamu (MS) cairkan 60-70 juta, lalu kemudian MS bertanya kepada ibu wagub bagaimana dengan dokumen pertanggungjawabannya. “Dijawab ibu wagub kamu siapkan semuanya saja nanti soal dokumentasinya diminta ke anaknya (AFY) dan teman – teman yang lain,” imbuhnya.
Sejak kasus tersbeut mulai diproses oleh Kejati Malut dari tahap permintaan klarifikasi, penyelidikan hingga ke tahap penyidikan menurutnya, posisi MS saat itu sebagai saksi pelapor, yang mana MS mengaku bahwa dirinya sangat kooperatif dan membantu pihak Kejati dalam hal memberikan keterangan dan alat bukti sedetail mungkin agar bisa mengungkap otak pelaku.
“Bahkan penyidik kejaksaan menyebut saya sebagai WISTLE BLOWER (orang yang mengungkap kejahatan), karena saya bantu ungkap masalah tersebut sejumlah saksi diperiksa serta alat bukti dokumen, rekaman suara percakapan telepon, whatsapp dan bukti lainnya terkonfirmasi semua dengan apa yang saya sampaikan dihadapan penyidik,” terangnya.
Ia menyatakan bahwa terjadi penyimpangan penggunaan anggaran yang diperintahkan Wagub, istri dan anaknya kepada MS, namun setelah dua tahun lebih berlalu sejak Oktober 2022 hingga April 2025, tepat 15 April 2025 MS ditetapkan tersangka oleh Kejati Malut.
MS disangkakan primair melanggar pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU no 31 tahun 1999 sebagaimanan telah diubah dan ditambah uu no 20 tahun 2001, subsider pasal 3 jo. Pasal 18 uu nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah uu no 20 tahun 2001.
“Diposisi ini, saya terpukul dan bertanya apakah ini yang namanya keadilan? Padahal kasus ini, saya yang membongkar dan membuat menjadi terang berderang,” ucapnya.
Tapi rupanya posisi MS disebut whistle blower hanya menjadi isapan jempol belaka, sebab saat ini dirinya sudah dijadikan tersangka atas perkara yang diungkapnya, bukankah disebut sebagai whistle blower harusnya mendapat perlindungan karena membongkar dugaan korupsi yang dilakukan oleh orang nomor dua di Provinsi Maluku Utara beserta istri dan anaknya, tapi mengapa sebaliknya.
Dirinya mengaku sepertinya dijadikan tumbal kepadanya, sementara orang yang memberi perintah dan menikmati uang hasil korupsi tidak ditetapkan sebagai tersangka.
“Padahal sudah sangat jelas dalam pasal 51 KUHP menyebutkan orang yang melakukan perbuatan atas perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang tidak boleh dipidana, juga pada pasal 10 ayat (1) UU No. 13 tahun 2006 menyatakan saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian,” tegasnya.
MS menambahkan, selama bertugas di sekretariat wagub dirinya tidak pernah menerima komisi ataupun fee yang diberikan oleh pak wagub ataupun Ibu wagub, malah sebaliknya apa yang menjadi haknya dan teman-teman justru dipotong dan diambil untuk kepetingan pribadi mereka.
“Saya hanya menerima hak saya sebagai ASN berupa gaji honor dan biaya perjadin jika saya melakukan perjalanan dinas, tapi ketika saya dituduh oleh pak wagub telah menggelapkan atau korupsi atas anggaran perjadin dan mami pada sekretariat wagub sangat tidak benar,” ungkapnya.
MS mengaku sebagaimana penjelasannya diatas bahwa semua kebijakan yang dibuatnya atas perintah Wagub dan Istrinya, baik berupa uang ataupun barang diserahkan kembali ke wagub dan ibu wagub, maka dirinya bertanya dimana letak penggelapan atau korupsi dilakukannya saat menjadi bendahara wagub, karena tidak memiliki aset baru baik rumah, tanah ataupun kendaraan.
“Rumah yang saya tempati adalah rumah orang tua, kendaraan roda dua yang saya gunakan adalah kepemilikan tahun 2020 sebelum menjadi bendahara, saya juga tidak memiliki rekening tabungan dalam jumlah banyak,”akunya.
“Oleh karena itu, dirinya bermohon kiranya agar dapat diberikan keadilan yang seadil-adilnya kepada semua pihak terutama Presiden RI, Kejaksaan Agung RI, Menteri Hukum RI untuk bisa membantu dirinya dalam hal ini,”sambungnya.
Dirinya mengaku hanya seorang ASN rendah yang masih butuh pekerjaan, karena Ia orang tua tinggal, (semenjak istrinya meninggal dunia pada agustus 2024) dari dua orang anak masih kecil dan menjadi tulang punggung dalam keluarga.
“Jika saya dipidanakan, tentu berdampak pada status ASN saya, karena diberhentikan dari ASN dengan tidak hormat, jika kasus ini telah memiliki keputusan hukum yang berkekuatan hukum tetap, apabila itu terjadi bagaimana nasib dan masa depan anak-anak saya kedepannya,” pintanya mengakhiri.
Bahtiar Husni pun menegaskan bahwa kasus ini dinilai tidak sesuai dengan fakta dan bukti yang ada, pasalnya, bukti yang kongkrit seperti rekaman dan lain-lain tidak dilihat lebih jauh oleh tim penyidik.
“Maka saya sampaikan langkah penyidik ini patut dipertanyakan. Memang kami tidak bisa munafikkan bahwa, ada kelalaian yang juga dilakukan klien kami, tapi bukan sepenuhnya kesalahan kasus ini dibebankan kepada klien kami yang semata-mata hanya mengikuti perintah atasan tempat dia bekerja,” ujarnya.
Padahal banyak hal sudah disampaikan oleh kliennya, makanya dengan tegas dirinya minta kepada tim penyidik agar pihak-pihak yang terlibat harus bertanggungjawab secara hukum, dan orang-orang ini juga semestinya ditetapkan sebagai tersangka.“Klien kami hanya membutuhkan keadilan dari kasus yang menimpanya saat ini,”pungkasnya.
Untuk diketahui, total anggaran Mami dan operasional perjadin ini melekat di Sekretariat Wagub Malut tahun 2022 sebesar Rp.13.839.254.000. Berdasarkan hasil audit BPK RI, kerugian keuangan negara dalam kasus ini mencapai Rp2,7 miliar dari total alokasi anggaran.
Dalam perkembangan penanganan dugaan kasus ini, mantan Wagub M. Al Yasin Ali bersama istrinya Muttiara T. Yasin dan anak mereka berinisial A, turut diperiksa tim penyidik. Begitu juga pejabat Pemprov Malut, diantaranya Seprov Malut, Samsuddin A. Kadir dan tercatat kurang lebih 20 orang saksi yang sudah diperiksa tim penyidik dalam kasus ini.(par)