Anarkhia

0
691
Remy Sylado (Foto : Jawa Pos)

Oleh: Remy Sylado, Munsyi, sastrawan

 

 

DI awal Oktober ini mendadak populer kembali istilah yang telah bersipongang ramai sejak makzulnya pemimpin Orde Baru pada 1998, yaitu vokabuler anarkhi. Pada 1998 itu anarki diingat dengan peristiwa-peristiwa mengerikan, betapa seseorang yang dituduh bersalah ramai-ramai disiram bensin, lantas dibakar dengan tempik sorak riuh.

Antara lain itu terjadi di suatu tempat di bilangan Jakarta Timur. Gambaran beringas marah itu direkam kamus-kamus bahasa Inggris lewat entri amuk. Misalnya, Longman Dictionary of English Language and Culture: amuk: ”run out of control, esp with a desire to kill people.”

Jadi, salah satu kosakata bahasa Indonesia yang masuk dalam kamus bahasa dan budaya Inggris adalah adverbia yang dengannya serta-merta mengganti kesimpulan ”bangsa Indonesia adalah bukan bangsa yang ramah, tapi ”ramah” dibalik menjadi ”marah”.

Tentang anarkhi tersebut, mundur lebih jauh ke era 1960-an. Pada 1964, sebuah surat kabar di Semarang, Korming, memberitakan tentang sebuah bioskop di Bandung yang memutar film Amerika, lakon cowboy. Pemuda-pemuda palu-arit CGMI, IPPI, dan PR yang mendukung PAPFIAS lantas mengobrak-abrik gedung bioskop itu (Bioskop Dewi di Jalan Braga) sampai hancur lebur.

Cerita tentang itu oleh pemimpin redaksi Korming diberi judul Aksi anarkhi PR, IPPI, CGMI, menghancurkan bioskop karena mendukung PAPFIAS. PR = Pemuda Rakyat, IPPI = Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia, CGMI = Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), dan PAPFIAS = Panitia Aksi Pengganyangan Film Imperialis Amerika Serikat (digagas penyair Sitor Situmorang). Adapun film yang digusur PAPFIAS tersebut, judulnya Beau Geste diganti menjadi Beau Hank, dimainkan oleh Gary Cooper.

Akibat pemuatan berita tersebut, keesokan harinya gantian kantor redaksi Korming di prapatan Jalan Kepodang (tiga gedung dari kantor pusat ”raja gula” Oey Tiong Ham) diobrak-abrik PKI. Di Jalan Kepodang ini sendiri ada tempat koran selain Korming yang memang dimusuhi PKI. Yaitu, harian Tempo yang kemudian berafiliasi pada PNI dan mengganti nama menjadi Suluh Marhaen edisi Jateng, Sinar Indonesia yang kemudian menjadi Angkatan Bersenjata edisi Jateng, dan Bahari, koran di bawah Pangkowilhan, Jateng.

Ketika Korming diobrak-abrik pemuda palu-arit secara liar dan anarkhi, sepekan setelah itu terbit sebuah puisi yang dibacakan dalam pertunjukan teater di gedung Sasana Suka, prapatan Jalan Seteran dan Jalan Bojong, yang dipentaskan oleh peseni-peseni LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional). Antara lain kata-katanya, ”mengakunya bangsa berbudaya tapi pers sebagai pilar peradaban disikat melebihi bom.”

Memang setelah itu ada beberapa surat kabar di Semarang yang disebut-sebut sebagai ”koran BPS”. Yaitu, surat kabar-surat kabar yang tiap hari memuat tulisan bersambung karya Sayuti Melik dibredel karena dianggap memusuhi PKI. Tulisan bersambung Sayuti Melik itu bertema Belajar Memahami Ajaran-Ajaran Soekarnoisme.

Tak pelak, anarkhi yang dilakukan oleh orang-orang muda komunis itu merasa dibenarkan oleh penguasa. Tak heran pula bahwa kecenderungan bertindak anarkhi pun tampak leluasa dilakukan oleh orang-orang palu-arit.

Biasa berlangsung bahwa anarkhi yang dilakukan oleh orang-orang komunis itu berujung dengan darah-darah. Yang paling berdarah adalah dalam pawai kaum marhaenis dari Klaten menuju Jogjakarta. Di tengah perjalanan, mereka dibantai ramai-ramai oleh orang-orang komunis itu seraya berseru, ”Nasakom bersatu singkirkan kepala batu.”

Dengan itu, jelas teringat betapa anarkhi yang terjadi di Indonesia biasa berujung dengan berdarah-darah. Karena itu, keterangan yang diberikan oleh Stuart B. Flexner, editor Reader’s Digest, dalam bukunya yang bagus, Family Word Finder, ”Any form of absence of government, disorder, lawlessness, chaos.”

Serta-merta kita teringat pula pada kejadian-kejadian pasca tergulingnya kekuasaan Orde Baru pada 1998. Setelah itu kian santer bergaung tuduhan bahwa biang kerok kejadian itu adalah para mahasiswa. Tapi, dengan kritis penyair W.S. Rendra menampik tuduhan itu melalui puisinya yang berjudul Pertanyaan Penting. Larik-larik puisinya itu antara lain:

Dan kamu, para cukong, penjarah kekayaan bangsa

Kamu juga biang keladi anarki ini

Kepada kamu aku bertanya:

mentang-mentang kamu bisa beli perlindungan

apakah kamu merasa berada di atas undang-undang?

Kata sifat untuk anarki adalah anarkis. Kata itu berasal dari bahasa Yunani archos, kemudian menjadi arkhes, dan arkhia, artinya ”pemimpin kekuasaan” atau ”penguasa”, lalu ditambahi kata sangkalan an.

Beberapa lema yang memakai arkhi, antara lain, monarkhi untuk kekuasaan yang dipegang oleh seseorang yang tunggal, dibentuk dari kata bahasa Yunani monos, artinya ”sendiri”. Kemudian, ada juga oligarkhi, dibentuk dari kata oligos, artinya ”golongan kecil”. Sedang anarkhi diindonesiakan menjadi anarki.

Kata anarki berasal dari bahasa Yunani anarkhia, maknanya adalah ketiadaan pemerintah dalam suatu tatanan societas sipil. Dengan kalimat yang singkat, Thomas Carlyle, cendekiawan asal Skotlandia yang masyhur di bidang penulisan sosial dan politik, mengatakan, ”Without sovereigns, true sovereigns, temporal and spiritual, I see nothing possible but an anarchy, the hatefulest of things.”

Di tahun-tahun awal saat sejarah gereja memakai istilah reformasi, golongan kongregasi yang dicetuskan oleh Menno disebut Anabaptis. Antara lain mereka menolak pembaptisan terhadap anak-anak. Itu sebabnya oleh sebagian kalangan tradisional, pengikut Menno itu dihubungkan pula sebagai pelawan tata tertib gereja. Bahkan lebih jauh disimpulkan sebagai gejala anarkisme terhadap kasad kerohanian.

Istilah yang dipakai sastrawan besar Rusia Leo Tolstoy pada abad ke-19 adalah anarkisme Kristen. Sebelumnya, telah lebih dulu dipakai istilah anarkisme komunisme untuk memerinci terbelahnya pengikut Mikhail Bakunin dari Karl Marx.

Di sana tindakan-tindakan yang kemudian dipraktikkan oleh PKI sebelum 1965 dianggap sebagai resep yang niscaya untuk meneror. Naga-naganya model teror di Indonesia setelah rezim Orde Lama diterkam mati mengingatkan pada instansi Revolusi Prancis abad ke-18, pada jatuhnya Robespierre dalam terreur rouge. Lantas, pengikut raja yang setia melakukan pembalasan dengan intimidasi yang membuat rakyat takut dan saling curiga.

Keadaan seperti itu pun kita lihat sepanjang masa yang disebut-sebut Orde Baru. Yang paling kentara adalah intimidasi-intimidasi terhadap golongan China, sampai-sampai salah satu dari agama rakyat, yaitu Khonghucu, dilarang karena tidak diakui sebagai agama.

Baru setelah Gus Dur menjadi presiden, agama Khonghucu diakui. Pada 2014 komunitas Tionghoa Semarang, Boen Hian Tong, pun memberi gelar Bapak Tionghoa kepada Gus Dur yang dilangsungkan di rumah ibadah Tionghoa di Semarang, Tay Kak Sie.

Apakah dengan mengingat peristiwa sejarah itu prasangka buruk terhadap orang China dianggap telah sembuh? Tak ada yang menjamin. (*)

Sumber: https://www.jawapos.com/opini/06/10/2019/anarkhia/

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here