Kolom

Tragedi Buku di Indonesia

×

Tragedi Buku di Indonesia

Sebarkan artikel ini

Oleh: Asma Nadia
Novelis

 

BERAPA tahun diperlukan satu bangsa sebelum menyadari mereka membutuhkan sebuah perpustakaan? Satu atau dua tahun? Bagaimana jika 10 tahun? Apakah terlalu lama?

Berapa lama bangsa Indonesia menyadari mereka membutuhkan sebuah perpustakaan?

Jika kita telusuri sejarah bangsa, saat menyatakan kemerdekaan pada 1945, kita langsung mempunyai pemimpin. Artinya, pada saat itu semua elemen bangsa langsung tahu–alias hanya butuh nol detik–untuk menyadari Indonesia butuh pemimpin.

Lalu, hari berikutnya Undang-Undang Dasar langsung disahkan. Maknanya, hanya butuh waktu sehari untuk mewujudkannya. Lantas, kapan kita mendirikan perpustakaan?

Nanti dulu. Indonesia masih harus membentuk tentara, partai, kabinet, dan berbagai hal lain. Rata-rata prioritas terkait politik dan militer. Wajar, sebab pada masa itu kita masih dalam keadaan transisi, bahkan masih perang. Mungkin setelah perang baru kita butuh perpustakaan?

Kenyataannya hingga Presiden Sukarno jatuh pada 1965 atau sekitar 20 tahun setelah merdeka, Indonesia belum punya perpustakaan nasional.

Mungkin presiden berikutnya, Soeharto, menyadari pentingnya perpustakaan bangsa? Kita memang sedang melewati masa revolusi, tapi tidak separah pada 1945. Waktu melenggang, bertahun kemudian tetap tidak ada perpustakaan nasional. Sampai akhirnya, tanggal 17 Mei 1980 dicanangkan pendirian perpustakaan oleh Mendikbud, Daoed Joesoef.

Ketika itu sebagai lembaga, kedudukannya masih berada dalam lingkungan Depdikbud setingkat eselon II di bawah Dirjen Kebudayaan dan badan ini merupakan hasil integrasi dari empat perpustakaan besar di Jakarta, yaitu Perpustakaan Sejarah, Politik, dan Sosial (SPS), Perpustakaan Wilayah DKI Jakarta, Bidang Bibliografi dan Deposit, dan Pusat Pembinaan Perpustakaan.

Dengan kata lain, butuh 35 tahun penantian bagi bangsa Indonesia sebelum akhirnya perpustakaan nasional hadir. Begitu pentingnya momen tersebut hingga kemudian tanggal 17 Mei dijadikan Hari Buku Nasional. Karena pendirian perpustakaan adalah simbol kesadaran sebuah negara akan pentingnya literasi.

Sebenarnya sejarah Perpusnas bermula dengan didirikannya Bataviaasch Genootschap pada 24 April 1778. Lembaga ini adalah pelopor Perpusnas dan baru dibubarkan pada 1950. Dengan kata lain, justru saat merdeka kita bukan menambah perpustakaan, melainkan membubarkannya.

Penetapan hari buku nasional juga menarik. Tahukah kapan hari buku nasional ditetapkan? Pada 2002. Artinya, perlu waktu 22 tahun setelah Perpusnas berdiri untuk membuat pemerintah menyadari perlunya penetapan hari yang mengingatkan pentingnya buku. Jika kita simpulkan lagi, sejak tahun kemerdekaan, Indonesia butuh 52 tahun untuk mencanangkan sebuah hari yang disebut Hari Buku Nasional.

Sejarah singkat di atas cukup menunjukkan betapa buku dan kepustakaan menjadi prioritas yang jauh dan kesekian bagi pemegang kebijakan di Indonesia. Dengan kata lain, jika kita mengeluhkan minat baca yang rendah, akar sejarahnya sedikit banyak terkuak di sana.

Keberadaan perpustakaan setidaknya adalah simbol kesadaran satu bangsa atas pentingnya pustaka. Penetapan Hari Buku juga simbol kepedulian bangsa.

Dan kini, buku dan kepustakaan punya posisi yang penting. Sekarang perpustakaan nasional tidak berada di wewenang setingkat eselon 1, tapi langsung berada di bawah presiden. Bahkan, sekarang kita punya gedung perpusnas baru yang merupakan perpustakaan nasional tertinggi di dunia (126,3 meter) dengan 27 lantai, termasuk tiga lantai parkir bawah tanah.

Keberadaannya merupakan simbol betapa negara kini mendukung penuh kepustakaan. Sayangnya, hal ini tidak dimbangi minat baca yang tinggi. BPS mencatat angka penduduk Indonesia di atas usia 15 tahun yang melek huruf pada 2010 mencapai 96,07 persen. Namun, sayangnya, minat baca masih rendah.

UNESCO pada 2012 mengungkap minat baca Indonesia hanya 0,001 persen atau dari 1.000 jiwa hanya satu orang yang suka membaca. Artinya, dari 265 juta penduduk, kita baru memiliki 265 ribu orang yang punya minat baca tinggi. Angka ini masih terlihat besar walau nyatanya tidak demikian.

Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) dalam laporannya mengungkapkan, dari jumlah total penerbit buku sebanyak 1.328, hanya 54 persen yang hingga kini masih aktif menerbitkan buku. Bahkan, kategori aktif pun masih minim menerbitkan, sedikitnya 10 judul buku dalam setahun.

Dan lebih tragis lagi, semua kenyataan ini bertolak belakang dengan minat baca anak-anak Indonesia.

Dengan mata kepala sendiri, setiap kali mendirikan Rumah Baca Asma Nadia di berbagai daerah, saya dan relawan melihat anak-anak di berbagai daerah begitu antusias dengan kehadiran buku. Mereka berebut ingin menjadi yang pertama membaca koleksi buku baru. Tampaknya sebenarnya anak Indonesia punya minat baca tinggi, hanya akses mereka terhadap buku terbatas.

Di kota, banyak ananda yang sudah teralihkan ke ponsel pintar. Namun, di daerah masih tersisa cukup banyak harapan. Minat baca Indonesia yang terbilang rendah secara internasional mungkin justru bisa kita koreksi dari anak-anak Indonesia di pelosok. Bisa jadi benar, bisa pula tidak. Namun, pemikiran tersebut menjadi amunisi tersendiri bagi saya dan relawan rumah baca.

Bahan bakar bagi mimpi 1.000 Rumah Baca. Seribu perpustakaan gratis untuk anak dhuafa. Harapan yang dipupuk agar anak Indonesia mempunyai akses mudah dalam mendekati buku. Lewat menjelajah buku insya allah mereka bisa menggapai dunia.

Jadi, perkenankan saya memohon doa dan dukungan semua. Tidak hanya bagi Rumah Baca Asma Nadia yang saat ini sudah didirikan di 260 lokasi alias masih 740 rumah baca dalam impian. Namun, doa dan dukungan untuk semua TBM atau taman bacaan masyarakat di tanah air.

Ingin berpartisipasi? Alamat rumahbaca lengkap di website Pos Indonesia. Semoga banyak yang tergerak menjadi bagian dengan beramai-ramai mengirimkan buku gratis ongkos kirim setiap bulannya pada tanggal 17. Lebih baik lagi jika ada yang tergerak untuk berbagi ilmu dan menjadi relawan di dalamnya.

Selamat Hari Buku Nasional!

Investasi kita pada mata-mata kecil yang haus membaca, semoga berbuah indah dan tanpa membutuhkan waktu lama. Semoga Indonesia tak lagi masuk dalam darurat literasi di kancah internasional.(*)

Sumber: https://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/prnop2440/tragedi-buku-di-indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *